Revisi RUU KPK, Praktisi Hukum: Sebaiknya Judicial Review ke MK

Sabtu, 05 Oktober 2019 - 22:34 WIB
Revisi RUU KPK, Praktisi Hukum: Sebaiknya Judicial Review ke MK
Praktisi hukum yang juga intelektual muda NU, Amsori memberikan keterangan pers terkait revisi UU KPK di Kantor KMI, Jakarta Pusat, Sabtu (5/10/2019). FOTO/IST
A A A
JAKARTA - Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (RUU KPK) yang telah disahkan menjadi UU KPK pada 17 September 2019 oleh DPR masih menuai kontroversi dan sorotan publik. Gelombang aksi demo mahasiswa yang terus bergulir menjadi batu sandungan keberadaan UU KPK yang baru meskipun sudah menjadi salah satu pijakan bagi negara agar KPK berdiri sesuai dengan fungsinya dan berdiri sesuai dengan posisinya sebagai lembaga negara.

Praktisi hukum yang juga intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU), Amsori berpendapat, UU KPK baru adalah bentuk penguatan KPK secara kelembagaan yang diinisiasi DPR agar pegawai tunduk pada satu sistem, termasuk penataan birokrasi internal. Dengan begitu, kata Amsori, KPK tidak akan disalahgunakan menjadi alat politik golongan tertentu untuk menekan lawan politiknya yang berseberangan.

Terkait dengan tuntutan agar dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) KPK, Amsori mengecam segala bentuk desakan dan penggiringan opini. Dia menilai bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak perlu lagi mengeluarkan Perppu sebagai langkah mengatasi RUU KPK yang sudah disahkan DPR. Alasannya, Indonesia saat ini belum dalam kondisi genting sehingga penerbitan Perppu bisa dianggap melebihi kewenangan presiden.

"Jika mengacu aturan hukum yang ada, jika ada undang-undang yang sudah disahkan tapi tidak diterima oleh sebagian masyarakat, bisa dibatalkan dengan mekanisme uji materi (judicial review) di MK (Mahkamah Konstitusi). Upaya ini untuk mengevaluasi undang-undang yang dinilai melanggar konstitusi," ujar Amsori dalam jumpa pers di Kantor KMI, Jakarta Pusat, Sabtu (5/10/2019).

Judicial review, kata Amsori, adalah hal yang semestinya dilakukan oleh masyarakat yang merasa dirugikan oleh undang-undang tersebut daripada menggerakkan massa di jalan hanya untuk meminta presiden mengeluarkan Perppu untuk membatalkan UU KPK yang sudah disahkan oleh DPR.

"Perppu bisa saja diterbitkan asal ada kegentingan yang memaksa dan kekosongan hukum di dalam ranahnya. Persoalannya, penerbitan Perppu KPK bukan hal yang mendesak. Hingga saat ini KPK masih bisa bekerja dan melaksanakan tugasnya menangkap koruptor dan pencegahan korupsi. Jika presiden mengeluarkan Perppu sama halnya dengan menjatuhkan kewibawaan pemerintah yang sebelumnya baru disahkan oleh DPR," ujar Amsori.

Dengan demikian, tambah Amsori, ada lima hal yang perlu dijadikan solusi bersama yaitu tetap mendukung UU KPK yang baru disahkan DPR RI, menolak penerbitan Perppu oleh presiden, mendukung judicial review UU KPK yang baru, dan mempercepat pelantikan komisioner KPK yang baru.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 3.5093 seconds (0.1#10.140)