Misteri Rentetan Gempa yang Menghancurkan Wonosobo pada 1924

Selasa, 22 Januari 2019 - 05:00 WIB
Misteri Rentetan Gempa yang Menghancurkan Wonosobo pada 1924
Bangunan kolonial Belanda di Wonosobo yang hancur akibat gempa pada November 1924. FOTO/IST
A A A
JAKARTA - Kabupaten Wonosobo pernah hancur digoyang rentetan gempa bumi dahsyat dari 9 hingga 12 November 1924. Salah satu guncangan gempa ada yang berlangsung selama 10 menit.

Catatan sejarah gempa Wonosobo ini bersumber dari sebuah majalah berbahasa Belanda Indie yang terbit pada 7 Januari 1925. Dampak gempa ini, tercatat lebih dari 1.000 orang warga Wonosobo meninggal dunia dan ribuan rumah mengalami kerusakan.

Awal rentetan gempa terjadi pada Minggu 9 November 1924. Setidaknya ada 5 kali guncangan gempa yang terjadi pada hari itu. Tiga kali guncangan gempa di antaranya dirasakan sangat kuat hingga penduduk meninggalkan rumah.

Guncangan gempa sempat berhenti, namun 3 hari kemudian tepatnya pada sore hari Rabu 12 November 1924, kembali terjadi 2 kali guncangan gempa kuat hingga menimbulkan kerusakan parah pada banyak rumah penduduk. Guncangan gempa yang diikuti tremor itu dilaporkan berlangsung selama 10 menit disertai suara gemuruh yang mencekam.

Guncangan gempa kuat kembali terjadi pada Minggu 16 November 1924. Akibat gempa ini, banyak rumah warga yang semula sudah rusak menjadi semakin bertambah rusak. Gempa kuat ini melanda di berbagai wilayah Wonosobo dan sekitarnya.

Banyak perkampungan mengalami kerusakan sangat parah, seperti di Kali Tiloe, Pagetan, Salam, dan Larang. Di daerah ini juga dilaporkan banyak terjadi longsoran. Bahkan bangunan Belanda yang kokoh di Kota Wonosobo roboh, salah satunya adalah bangunan Hotel Dieng.

Ditinjau dari karakteristik guncangannya yang merusak, tampak bahwa gempa ini merupakan jenis gempa tektonik. Gempa ini merupakan tipe yang didahului dengan aktivitas gempa pembuka (foreshocks) sebelum terjadinya gempa utama (mainshock) yang guncangannya paling kuat.

Gempa Wonosobo 1924 hingga kini masih menyimpan misteri. Magnitudo gempa ini belum diketahui dan sumber pembangkit gempanya pun juga belum diketahui secara pasti. Tetapi melihat karakteristik dampak sebaran gempanya yang masih tergolong lokal, dugaan kuat bahwa gempa ini dipicu oleh aktivitas sesar aktif di Wonosobo dan sekitarnya.

Berita tentang gempa di Wonosobo Tahun 1924 juga muncul di berita-berita luar negeri pada waktu itu. Antara lain Koran The Morning Republican, Koran Marshal Evening Chronicle, Koran Atlanta Constitution, Koran Bidderford Daily Journal, dan Koran Daily Times Enterpise.

Dari cuplikan berita tersebut diketahui gempa yang terjadi pada November 1924 merupakan rangkaian gempa yang lain terus berlanjut sampai dengan Desember 1924 (Gempa Kembar). Kerusakan tidak hanya merusak wilayah Wonosobo, namun juga sampai wilayah Kedu .

Terdapat multi-bencana dari efek gempa pada 1924 tersebut, yaitu gempa bumi, tanah longsor, tanah bergerak, dan juga banjir Sungai Serayu. Banjir Sungai Serayu ini diakibatkan oleh banyaknya longsor dan tanah bergerak sehingga menutup jalur sungai dan airnya meluap.

Hal tersebut berdasarkan adanya berita bahwa terdapat satu desa yang hilang akibat tanah bergerak yang membawa semua yang ada di atasnya meluncur ke Sungai Serayu. Koran Bidderford Daily Jurnal menceritakan bahwa Wonosobo setelah gempa dikepung oleh banjir.

Kerusakan yang terjadi akibat gempa tersebut pernah disampaikan seorang politisi Hindia Belanda Mr Wijnkoops saat rapat interpelasi Pemerintah Hindia Belanda pertemuan ke-39 pada 17 Desember 1924. Dia menyatakan dalam sela orasi politiknya, “Saya ingin berbicara tentang bencana yang terjadi di Wonosobo yang saat ini menjadi bahan pembicaraan. Dengan gempa bumi yang mengerikan kawasan yang indah di bagian dari Jawa Tengah ini telah hancur. Saya mengucapkan bela sungkawa dan berusaha memberikan suatu yang lebih untuk daerah yang indah tersebut. Saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi di sana.”

Bantuan dari berbagai pihak mengalir ke Wonosobo, setidaknya ini dibuktikan dengan adanya salah satu pagelaran tinju di Surabaya pada 4 Januari 1925 yang disponsori oleh warga keturunan Tionghoa dan hasil penjualan tiket disumbangkan untuk korban gempa bumi di Wonosobo (AS Marcus, 2002).

Kejadian gempa yang menghancurkan memang telah lama berlalu, namun sejarah ini bisa menjadi sarana berintrospeksi. Kita berdoa semoga tidak terjadi lagi bencana yang mengerikan pada zaman modern ini.

Diolah dari berbagai sumber:
FB Bimo Sasongko, Staf Perpustakaan Kabupaten Wonosobo
http://alfinlatife.blogspot.com
IG@infobmkg
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.3506 seconds (0.1#10.140)