Pemkab Gunungkidul Gelar FGD Bahas Satu Data Kemiskinan

Selasa, 24 September 2019 - 13:45 WIB
Pemkab Gunungkidul Gelar FGD Bahas Satu Data Kemiskinan
Pemkab Gunungkidul bekerja sama dengan Combine Resource Institution menggelar FGD Satu Data Kemiskinan di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta, Selasa (24/9/2019). FOTO/IST
A A A
JAKARTA - Data kemiskinan yang tidak akurat menjadi penyebab program pemerintah tidak tepat sasaran dan rawan memicu konflik sosial di masyarakat. Walaupun sudah ada Peraturan Presiden No 39/2019 tentang Satu Data Indonesia, tetapi di lapangan masih terjadi kesimpangsiuran data.

Karena itu, Pemerintah Kabupaten Gunungkidul bekerja sama dengan Combine Resource Institution menyelengarakan Focus Group Discussion (FGD) soal "Satu Data Kemiskinan: Bagaimana Mencapainya dan Untuk Siapa?" di Hotel Ibis Tamarin, Jakarta, Selasa (24/9/2019).

Ketua Dewan Pembina CRI Dodo Julimar dalam sambutannya menyebut bahwa ada problem soal satu data kemiskinan. "Padahal dengan Satu Data Kemiskinan yang lebih dikenali, mudah diakses oleh stakeholder kementerian terkait dan media menjadi penting untuk mencapai keadilan sosial, pengentasan kemiskinan yang lebih akurat," katanya.

Wakil Bupati Gunungkidul Himmawan Wahyudi menginginkan data kemiskinan tidak ada lagi persoalan. Gunungkidul masih disebut daerah miskin karena pernah mengalami tragedi kelaparan hingga ada orang busung lapar pada 1963. Peristiwa ini sangat membekas, akibatnya orang Gunungkidul tidak mau menjual hasil pertaniannya.

"Ini sikap local wisdom. Mereka bertanggung jawab atas nasib keluarganya sendiri. Tapi menjadi masalah karena BPS (Badan Pusat Statistik) menyebut salah satu kriteria miskin dari tidak adanya transaksi perdagangan. Ini kan ada metodologi yang tidak sama dengan lokal wisdom," katanya.

Menurut Himmawan, ada fakta yang tidak berdasarkan realitas dan ada data yang tidak berdasarkan fakta. "Warga menyimpan beras minimal 1 keluarga 30 kg hingga mampu hidup sampai setengah tahun. Tapi ini dianggap miskin karena tidak ada transaksi perdagangan," katanya.

Karena itu, kata wakil bupati, Kabupaten Gunungkidul menginisiasi untuk mewujudkan Satu Data Kemiskinan yang akan terus ter-update. "Jangan sampai lagi muncul istilah BLS (Bantuan Langsung Sakmatine), ini protes keras warga, karena kecewa yang mendapatkan bantuan hanya orang itu-itu saja," ujarnya.

Himmawan mengaku tetap menghargai data BPS, karena itu merupakan data resmi pemerintah, namun pihaknya juga memiliki data yang berasal langsung dari masyarakat.

Soal simpang data ini juga disoroti oleh komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP) Arif Adin Kuswardono. Arif menyebut contoh terbaru soal simpang siur data ini adalah data perberasan yang tidak sinkron antara Bulog, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Pertanian. "Data yang tidak sama menyebabkan pertengkaran di publik. Ini contoh terbaru soal tidak adanya kesamaan data," kata Arif.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.1632 seconds (0.1#10.140)