Rusaknya Kilang Minyak Bakal Picu Harga Naik Jadi USD100 per Barel

Senin, 16 September 2019 - 10:00 WIB
Rusaknya Kilang Minyak Bakal Picu Harga Naik Jadi USD100 per Barel
Serang Kilang Minyak Bakal Picu Harga Naik Jadi USD100 per Barel
A A A
LONDON - Rusaknya fasilitas minyak Arab Saudi akibat serangan drone akhir pekan lalu memicu kekhawatiran harga minyak akan naik mencapai USD100 (Rp1,4 juta) per barel. Kenaikan harga minyak pada level itu dapat terjadi jika Saudi gagal menutupi penurunan suplai minyak setelah serangan tersebut. Para pengamat telah memperkirakan harga minyak naik USD5–10 per barel saat perdagangan hari ini.

Serangan di dua fasilitas minyak di jantung industri minyak Saudi pada Sabtu (14/9) itu menghentikan lebih dari setengah output minyak mentah Saudi atau 5% dari suplai global. Berbagai sumber industri minyak menyatakan dibutuhkan waktu beberapa pekan agar produksi dapat sepenuhnya normal. Sejumlah pengamat telah mengungkapkan kekhawatiran kenaikan harga minyak tersebut.

Bob McNally dari Rapidan Energy menyatakan harga minyak mentah dapat naik minimal USD15–20 per barel dalam skenario gangguan selama tujuh hari dan dapat mencapai tiga digit dalam skenario gangguan 30 hari. “Ini tidak termasuk apa yang sulit diprediksi untuk mencerminkan hilangnya kapasitas produksi global di tengah berbagai risiko gangguan, penimbunan, dan sentimen kepanikan,” tutur McNally.

Co-CEO Onyx Commodities Greg Newman memperkirakan harga minyak Brent dibuka naik USD2 per barel dan ditutup naik USD7–10 per barel hari ini. “Pasar dapat melihat harga minyak kembali menjadi USD100 per barel jika isu itu tidak dapat diselesaikan dalam waktu cepat. Di pasar lain, Dubai dapat melihat penurunan USD1,50–2 saat para pengguna akhir berupaya menutupi kekurangan dalam jangka pendek,” ungkap Newman seperti dilansir Reuters.

Dia menambahkan, “Harga produk minyak hasil pengilangan akan menguat, terutama pada bahan bakar minyak tinggi sulfur yang saat ini berkurang jumlahnya dan produk pengilangan itu banyak terkait dengan minyak mentah Saudi.” Ayham Kamel dari Eurasia Group menjelaskan, harga premium akan naik USD2–3 per barel jika kerusakan di fasilitas Saudi dapat diselesaikan dengan cepat.

“Kenaikan bisa mencapai USD10 per barel jika kerusakan di fasilitas Saudi Aramco itu sangat besar,” ujar dia. “Skala serangan akan mendorong pasar untuk memeriksa kembali kebutuhan mempertimbangkan risiko geopolitik minyak. Serangan itu dapat memperumit rencana peluncuran saham perdana (IPO) Aramco dengan naiknya risiko keamanan dan potensi dampak pada nilai perusahaan itu,” papar Kamel.

Dia menjelaskan, “Amerika Serikat (AS) hanya akan melepas minyak mentah dari cadangan strategisnya jika kerusakan infrastruktur itu terlihat kritis atau harga minyak naik drastis.” Mitra pendiri Els Analysis Samuel Ciszuk mengatakan, “Hilangnya 5 juta barel per hari atau sekitar setengah dari level produksi Saudi sekarang dan sekitar 5% suplai global sangat besar dalam standar historis. Ini akan terjadi beberapa pekan sehingga memberi tekanan pada pasar.”

“Insiden ini sangat mengganggu dan memicu kekhawatiran risiko kenaikan minyak terkait produksi di Teluk,” kata Ciszuk. Christyan Malek dari JP Morgan memperkirakan kenaikan harga minyak mencapai USD3–5 per barel dalam jangka pendek. “Pasar akan berjalan tidur pada risiko di kawasan, fokus pada risiko atas pertumbuhan permintaan dan suplai minyak shale,” ungkap Malek.

“Serangan ini menunjukkan risiko baru yang tak dapat dihindari pada pasar,” papar Malek. Harga minyak diperkirakan naik menjadi USD80–90 per barel selama tiga hingga enam bulan mendatang saat pasar lebih fokus pada geopolitik. Gary Ross dari Black Gold Investors memperingatkan, jantung industri minyak Saudi telah berhasil diserang sehingga harga dapat naik menjadi USD65–70 per barel.

“Serangan itu sulit dihentikan dan dapat terjadi secara rutin. Pasar harus memperhitungkan risiko ini,” ungkap dia. John Driscoll dari JTD Energy menyatakan, “Ini penting karena menghilangkan dua kali volume kapasitas di pasar, yakni 2,0–2,5 juta barel per hari. Ada reaksi panik pada awalnya. Semua orang ingin segera keluar dari kondisi itu. Ini mungkin mengakibatkan kenaikan harga minyak mendatang.”

Tilak Doshi dari Muse & Stancil menjelaskan, serangan ini dalam dunia minyak sama dengan serangan 9/11. “Abqaiq merupakan produksi minyak tunggal dan lokasi infrastruktur pemrosesan paling penting di dunia. Ini menempatkan aliansi Iran di kawasan pada pusat kekhawatiran keamanan Timur Tengah,” ujar Doshi.

“Bagi pemerintah di negara-negara Asia, mungkin ini melebihi kekhawatiran tentang keamanan lalu lintas kapal tanker di Selat Hormuz dengan kekhawatiran lebih serius tentang dampak langsung permusuhan antara aliansi Saudi dan Iran,” papar Doshi. Menurut dia, negara-negara di kawasan Asia akan lebih mendukung sanksi keras Pemerintah AS terhadap Iran.

Sementara itu Iran menyangkal tuduhan AS bahwa Teheran merupakan dalang serangan terhadap fasilitas minyak Saudi. Iran juga mengancam bahwa kapal induk dan pangkalan AS di kawasan berada dalam jangkauan rudalnya. Kelompok Houthi di Yaman mengklaim bertanggung jawab atas serangan di fasilitas Saudi. Serangan oleh aliansi Iran itu mengakibatkan terhentinya lebih dari setengah output minyak Saudi.

Meski demikian Menteri Luar Negeri (Menlu) AS Mike Pompeo menyatakan tak ada bukti serangan itu dari Yaman. Pompeo menuduh Iran menyerang penyuplai energi dunia itu. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Iran Abbas Mousavi menyangkal tuduhan AS tersebut. Garda Revolusioner Iran memperingatkan telah siap menggelar perang skala penuh dan aset militer AS dalam jangkauan rudal-rudal Iran.
(mif)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 4.1986 seconds (0.1#10.140)