DPR Dinilai Tidak Transparan Soal Materi Revisi UU KPK

Minggu, 15 September 2019 - 15:04 WIB
DPR Dinilai Tidak Transparan Soal Materi Revisi UU KPK
Ilustrasi/DOk SINDOnews
A A A
YOGYAKARTA - Hingga saat ini aksi pro kontra pembahasan revisi UU KPK masih berlanjut. Padahal banyak susbtansi materi yang tidak sampai ke masyarakat sehingga menjadikan agenda pembahasan bias di masyarakat.

Menurut pakar Hukum Tata Negara Mahfud MD, pembahasan rancangan undang - undang memang memiliki prosedur. Di antaranya adalah menggelar rapat dengar pendapat publik. "Seperti halnya revisi UU KPK ini, masyarakat harus tahu," terangnya kepada wartawan di Yogyakarta, Minggu (15/9/2019).

Namun demikian sampai saat ini materi yang akan dibahas DPR tidak pernah sampai ke publik. "Saya mencoba melihat website juga tidak ada, padahal setiap rancangan peraturan perundangan harus di asah dengan asa keterbukaan, saya hanya mendengar lisan ada 20 atau 11, saya hanya mendengar beberapa beberapa," ulasnya.

Dijelaskannya, UU KPK adalah sifatnya umum. Sehingga perlu mekanisme rapat dengar pendapat publik. Untuk itu ketika dalam pembasan memang ada mekanismenya yang harus dilalui. "Karena normal adalah waktu tersisa tinggal 18 hari karena masa kerja DPR itulah masalahnya," lanjut dia

Salah satu yang mencuat adalah pemberian surat penghentian penyidikan perkara (Sp3) serta pengawas KPK. Menurutnya hal tersebut memang penting dilakukan untuk dibahas. Maka dari itu perdebatan materi penting karena ini negara demokrasi.

"Misalnya mengapa orang menjadi tersangka seumur hidup tidak ada SP 3. Seperti Rektor Universitas Airlangga Surabaya, lima tahun jadi tersangka, ditetapkan tersangka istrinya meninggal, nah kan butuh kepastian hukum sampai hampir lima tahun," tandasnya

Begitu juga, tersangka terus sampai meninggal sampai tidak ada SP 3. Untuk itu hal ini penting. "Usulan presiden baik, pentingnya dilakukan SP 3 bagi kasus yang dasar pembuktiannya tidak kuat, " ungkap Guru Besar Hukum UII ini.

Dia juga menyinggung pengawasan lembaga antirasuah tersebut. Menurutnya munculnya pendapat pentingnya pengawasan. Kalau itu pro justisia maka baik.

"Salah satu contoh ketika ada OTT komisioner KPK menyatakan tidak tahu, namun karena Komisoner maka ikut prosedur mengumumkan, jadi kan perlu diawasi. Ini yang jadi masalah Karena harus ada yang bertanggung jawab. Makanya pro justisianya bagaimana siapa yang berhak mengawasi, " katanya.

Dalam hal ini pemerintah memiliki waktu 60 hari, bisa digunakan untuk publik hearing. "Bisa ke kampus kampus kumpulkan advokat. Idenya rasional dan bagus demi perbaikan hukum, "pungkasnya.
(nun)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.7801 seconds (0.1#10.140)