Batas Produksi SKT Dinaikkan, Pabrik Rokok-Pekerja Terancam

Selasa, 10 September 2019 - 22:29 WIB
Batas Produksi SKT Dinaikkan, Pabrik Rokok-Pekerja Terancam
Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI) Joko Wahyudi (dua dari kanan) saat memberikan paparan dalam diskusi media di Yoyakarta, Selasa 910/9/2019).FOTO/SINDOnews/Ainun Najib
A A A
YOGYAKARTA - Pemerintah didesak menolak usulan pabrikan rokok besar untuk menaikkan batas produksi sigaret kretek tangan (SKT) golongan II dari 2 miliar menjadi 3 miliar batang per tahun. Usulan tersebut bisa mematikan industri dan pabrikan kecil yang bisa berdampak luas terhadap nasib pekerja.

Ketua Paguyuban Mitra Produksi Sigaret Indonesia (MPSI) Joko Wahyudi mengatakan para pemilik pabrikan kecil dari wilayah Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur secara tegas menolak usulan kenaikan batas Produksi SKT golongan 2.

“Kita menolak usulan itu karena hanya menguntungkan perusahaan besar, dan merugikan pihak lain,” jelasnya dalam diskusi media di Bale Raos, Yogyakarta, Selasa 910/9/2019).

Di Pulau Jawa, ada sekitar 38 pabrikan yang menampung 40.000 sampai dengan 50.000 pekerja. Jika usulan itu diterima, maka ancaman terbesar akan menjadikan pabrik ini kalah bersaing. Akibatnya perusahaan bisa bangkrut dan merumahkan para pekerja.

Kerugian lain adalah dari potensi pendapatan cukai sebesar Rp1 triliun. Saat ini pabrikan SKT berskala besar dan asing memiliki volume produksi sekitar 1,8 miliar dan berada di SKT golongan II dengan tarif cukai Rp180 per batang. Pada 2020 diperkirakan, volume produksi pabrikan mereka menembus 2 miliar batang atau masuk ke golongan I dengan tarif cukai antara Rp290-Rp365 per batang.

“Usulan itu untuk menghindari kewajiban membayar tarif cukai tertinggi di golongan I dengan tetap menikmati tarif cukai murah,” jelasnya.

Selama ini, batasan produksi rokok diatur oleh Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 156/2018 tentang tarif cukai hasil tembakau. SKT Golongan I dengan produksi di atas 2 miliar per tahun, SKT II antara 500 ribu sampai 2 miliar, dan golongan III dibawah 500 ribu. “Pekerja kami adalah ibu-ibu, dan produksinya secara manual,” jelasnya.

Pemilik MPS Bantul, Suluh Budiarto mengatakan di DIY ada empat MPS yang tersebar di beberapa kabupaten dengan jumlah pekerja mencapai 4.000 orang. Jika usulan itu diterima, mereka akan kalah bersaing dan para pekerja nasibnya juga terancam. “Kami ingin pemerintah bisa adil dan tidak merubah batasan yang ada,” jelasnya.

Sedangkan di Jawa Tengah, ada sekitar ada 12 MPS yang menampung 15 ribu pekerja. Nasib mereka juga sama dan bisa terancam jika usulan itu diterima.
(nun)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 2.3003 seconds (0.1#10.140)