Peneliti: Kim Jong-un Dikhawatirkan Makin Berbahaya jika Korut Terancam Kelaparan

Minggu, 18 Agustus 2019 - 10:21 WIB
Peneliti: Kim Jong-un Dikhawatirkan Makin Berbahaya jika Korut Terancam Kelaparan
Kim Jong-un saat menyaksikan uji coba rudal. Ilustrasi
A A A
WASHINGTON - Pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-un bisa menjadi semakin berbahaya karena rakyatnya terancam kelaparan selama musim dingin mendatang. Demikian peringatan peneliti kondisi Korea Utara, Srinivasan Sitaraman, daru Universitas Clark yang berbasis di Amerika Serikat (AS).

Menurut Sitarman, negara komunis Korea itu menghadapi kekurangan makanan setelah dijatuhi serentetan sanksi keras AS dan PBB terkait uji coba senjata nuklir dan rudal.

Sejak pertemuan puncak tanpa menghasilkan kesepakatan dengan AS hampir enam bulan lalu pemimpin Korut Kim Jong-un telah memantau langsung peluncuran empat senjata canggih baru, termasuk kapal selam dan rudal balistik jarak pendek. Meski berniat ingin denuklirisasi, diktator muda itu masih enggan melucuti program senjata nuklirnya.

Menurut Profesor Sitarman, pemerintahan Donald Trump di Washington cenderung "mengabaikan" rentetan uji coba misil Pyongyang. Presiden Trump sendiri bahkan memaklumi tindakan Kim sebagai luapan kekesalan atas latihan perang gabungan antara militer Korea Selatan dan Amerika Serikat.

Tetapi, Sitaraman mengatakan kepada Mirror Online, Sabtu (17/8/2019) bahwa situasi di Korut saat ini harus ditanggapi dengan serius. Menurutnya, rezim tertutup itu dapat menjadi lebih berbahaya menjelang Natal.

Dia mengatakan, kekurangan makanan akan meningkatkan tekanan pada Kim Jong-un untuk bertindak, dan dia akan terus menunjukkan otot militernya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.

Sitarman menilai, perasaan pemimpin muda itu sedang bergejolak atas sanksi yang dijatuhkan pada negaranya, dan rezimnya telah beralih ke metode ilegal untuk mengatasi hal itu.

"Saya pikir kita harus menanggapinya dengan sangat serius," katanya, saat berbicara dari Universitas Clark di AS.

"Jika dia (Kim Jong-un) tidak mendapatkan apa yang dia inginkan, yaitu agar sanksi dicabut, dia akan melanjutkan (tindakannya)," ujarnya.

"Saat ini musim panas di Korea Utara, jadi semuanya tidak terlalu buruk. Saat musim dingin tiba, masalah akan tiba," paparnya. "Akan ada kekurangan makanan, dan saat itulah Korea Utara akan merasakan kesulitan akibat dari sanksi."

Kondisi itu bisa membuat Kim lebih mungkin untuk melanjutkan pembangkangannya, di mana AS menuntut dia untuk menyerahkan semua senjata nuklir.

"Kim Jong-un akan menyalahkan sanksi yang diberlakukan PBB dan negara-negara lain," kata Sitaraman. "Dia mungkin mengatakan; Jika Anda tidak mencabut sanksi, saya akan meningkatkan berbagai hal," ujarnya.

"Pada suatu titik ketika konsekuensi dari musim dingin menghantam Korea Utara, mereka cenderung meningkatkan tekanan pada AS," imbuh Sitarman. "Saat itulah AS akan memiliki keputusan untuk memutuskan apakah ada kemajuan besar (atau tidak)."

Sebaliknya, sikap Presiden Donald Trump belakangan ini menunjukkan harapannya bahwa masalah dengan Korea Utara tidak berkobar.

"Saya pikir apa yang diinginkan Trump adalah untuk menjaga keadaan tetap tenang, AS memasuki siklus pemilu, jadi dia akan ingin mempertahankan status quo dan melihat apa yang terjadi musim panas mendatang," kata Profesor Sitaraman.

"Mereka berargumen tes-tes terbaru ini tidak melanggar semangat resolusi mereka, dan mereka masih bisa maju dengan pertemuan putaran ketiga. Mereka berusaha mengabaikannya," paparnya.

Dia mengatakan, jumlah senjata nuklir Kim Jong-un tidak jelas, meski Korea Utara diyakini memiliki antara 10 hingga 30 hulu ledak nuklir.

"Saya tidak tahu bahwa dia perlu menggunakannya, tetapi ada ancaman signifikan terhadap kawasan Asia-Pasifik. Bahkan satu ledakan dalam situasi keamanan bisa sangat tidak stabil," katanya.

"Saya tidak berpikir ada negara lain yang tertarik melihat hal itu membuahkan hasil," ujarnya.

Dia mengatakan, efek dari rentetan sanksi terhadap Korut signifikan. "Jika Anda melihat ekonomi Korea Utara, sanksi itu benar-benar menggigit, itu sebabnya mereka terlibat dalam penyelundupan batu bara dan mereka mungkin terlibat dalam peretasan skala besar," katanya.

Dokumen PBB yang bocor mengklaim bahwa Korea Utara bertanggung jawab atas pencurian USD2 miliar dalam cryptocurrency untuk mendanai program senjatanya.

"Mereka menggunakan serangan dunia maya ini untuk mengumpulkan uang, yang menunjukkan bahwa mereka putus asa dan sanksi bekerja," kata akademisi itu.

"Prioritas utama mereka adalah melindungi rezim dan orang-orang di sekitar rezim," ujarnya.

Kondisi ini, Sitarman percaya, berarti tidak ada keinginan Kim Jong-un untuk menyerahkan senjata nuklir.

"Korea Utara belum menunjukkan tanda-tanda lari, dan akan sangat rentan terhadap serangan dari AS atau Korea Selatan," katanya.

"Kami tidak tahu apakah serangan itu akan terjadi, tetapi mereka pasti akan rentan, jadi saya tidak berpikir mereka akan melakukan denuklirisasi, itu penilaian saya. Saya pikir senjata-senjata ini sangat mendasar bagi kelangsungan hidup rezim."
(mif)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.0352 seconds (0.1#10.140)