Pengakuan Kivlan Zen Soal Peristiwa 1998 Perlu Didalami

Kamis, 15 Agustus 2019 - 21:30 WIB
Pengakuan Kivlan Zen Soal Peristiwa 1998 Perlu Didalami
Mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen TNI Purn Kivlan Zen (berbatik cokelat). Foto/ANTARA
A A A
JAKARTA - Mantan Kepala Staf Kostrad Mayjen TNI Purn Kivlan Zen menggugat Menteri Koordinator Hukum dan HAM (Menko Polhukam) Wiranto ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim). Gugatan ini memunculkan kembali isu mengenai kekerasan dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat sipil pada tahun 1998.

Kivlan menggugat Wiranto karena merasa dirugikan dalam pembentukan Pasukan Pengamanan Masyarakat (Pam) Swaskarsa tahun 1998 yang menurutnya diperintahkan Wiranto saat menjadi Panglima ABRI.

Kivlan mengaku saat itu merasa dirugikan secara materil karena menanggung kekurangan dana pembentukan Pam Swakarsa.

Menyikapi itu, Setara Institute mengingatkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar tidak mengangkat menteri yang memiliki persoalan masa lalu, apalagi terkait hak asasi manusia (HAM).

Setara Institute juga mendorong pembentukan pengadilan HAM Adhoc. “Pengakuan Kivlan telah memperkuat temuan Komnas HAM yang menyebutkan adanya pelanggaran HAM oleh aktor-aktor negara pada 1998,” kata Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani dalam siaran pers yang diterima SINDOnews, Rabu 15 Agustus 2019 malam.

Menurut Ismail, jika informasi ini benar, maka temuan Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP HAM) bentukan Komnas HAM harus kembali memperjuangkan berkas penyelidikan yang terus menerus di tolak oleh Kejaksaan Agung dengan alasan tidak cukup bukti, dengan melengkapi keterangan-keterangan dari Kivlan Zen dan bahkan dari Wiranto.

“Komnas HAM dan Kejaksaan Agung harus mampu menarik pertanggungjawaban negara atas pelanggaran HAM ini, sekaligus menuntut pertanggungjawaban individu atas kejahatan kemanusiaan yang terjadi sepanjang 1998 termasuk peristiwa Trisakti-Semanggi dengan membentuk pengadilan HAM,” tegasnya.

Dalam pengakuan Kivlan Zen, kata dia, terungkap pertama, negara menggunakan rakyat sipil dengan membiayai mereka untuk mengamankan Sidang Istimewa (SI) MPR untuk memukul mundur sesama rakyat sipil yang menolak SI.

Politik devide et impera juga digunakan oleh negara untuk menghindari tuntutan hukum. Kedua, negara mengakomodir dan mensponsori kekerasan terhadap rakyat sipil, dengan cara membentuk dan membiayai milisi sipil.

“Ketiga, menyajikan indikasi bahwa rangkaian kekerasan dan kejahatan kemanusiaan pada masa transisi 1998 adalah desain aktor-aktor negara,” ujar Ismail.

Ismail menuturkan, pihaknya menyayangkan keengganan kepemimpinan Jokowi periode pertama untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu menemukan jawabannya dari pengakuan Kivlan Zen.

“Sebagai presiden pilihan rakyat secara demokratis, Jokowi harus memiliki pembeda dengan rezim antidemokrasi dan otoritarian di masa lalu. Salah satu pembeda itu adalah dengan lekas membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc dan tidak mengangkat kembali menteri-menteri yang punya beban masa lalu,” tuturnya.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto membantah semua tudingan Kivlan Zen terkait pembentukan Pam Swakarsa."Semuanya itu tidak benar," singkat Wiranto di Gedung Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa (13/8/2019) seperti dikutip dari Okezone.

Mantan Panglima ABRI itu akan menyiapkan bantahan resmi dan menyeluruh atas gugatan yang dilayangkan Kivlan Zen. Dalam perkara ini Wiranto menjadi pihak tergugat."Nanti ada bantahan resmi menyeluruh, saya jelaskan," kata Wiranto.
(nun)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.5689 seconds (0.1#10.140)