Mengungkap Eksaminasi Putusan Perkara Irman Gusman

Rabu, 16 Januari 2019 - 23:20 WIB
Mengungkap Eksaminasi Putusan Perkara Irman Gusman
(Ki-ka) Sekretaris Pukat Undip Pudjiono, Pakar Hukum Pidana Materiil Undip Nyoman Serikat Putra Jaya, dan Guru Besar Fakultas Hukum dan Masyarakat FH Undip, Esmi Warasih dalam Diskusi Hot Topic bertemakan Refleksi Penegakan Hukum MNC Trijaya FM Semarang
A A A
SEMARANG - Putusan hukum terhadap mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman dinilai tak lepas dari pengaruh politik. Tak heran, kasus tersebut mengundang perhatian para pakar dan praktisi hukum untuk ditelaah hingga eksaminasi pada akhir 2018 lalu.

Eksaminasi berikut catatan anotasi bukan untuk mempengaruhi hasil putusan majelis hakim yang telah berkekuatan hukum tetap. Namun untuk meluruskan paradigma berhukum agar proses pencarian keadilan senantiasa mampu menghadirkan rasa keadilan dan keseimbangan keadilan eksaminasi juga didedikasikan untuk studi akademik dalam rangka pelajaran hukum.

Menurut majelis hakim, Irman terbukti melanggar Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Akibatnya, Irman Gusman sebelumnya divonis 4,5 tahun penjara oleh majelis hakim di Pengadilan Tipikor Jakarta, pada Februari 2017.

"Setelah saya membaca dakwaannya itu Pasal 12 b, perbuatan utamanya adalah suap. Artinya melihat fakta-fakta yang ada di persidangan itu enggak ada suap. Di situ sebenarnya kurang tepat," kata Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip), Prof Nyoman Putra Jaya dalam diskusi yang diselenggarakan MNC Trijaya FM Semarang, bertema "Refleksi Penegakan Hukum", di Hotel Gets Semarang, Rabu (16/1/2019).

"Hasil eksaminasi saya larinya pada Pasal 11, karena dalam Pasal 11 itu ada alternatif di samping menerima hadiah atau janji. Dari situ kalau kita lihat fakta-fakta itu seolah-olah antara Pak Irman dengan kedua orang (Direktur CV Semesta Berjaya Xaveriandy Sutanto dan Memi) ini ada kesepakatan ada pembagian rezeki. Oleh karena itu dasarnya saya mengatakan seharusnya Pasal 11," katanya.

Dia juga mengatakan, penerapan jeratan hukum yang digunakan sangat berpengaruh pada putusan majelis hakim. Untuk itu langkah hukum berupa Peninjauan Kembali (PK) merupakan langkah tepat terhadap putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Di situ akan dipaparkan pertimbangan-pertimbangan untuk mengoreksi putusan hukum tingkat pertama.

"Misalnya kalau di dalam Pasal 12 itu ancaman pidananya itu seumur hidup atau paling lama 20 tahun dan paling singkat 4 tahun jadi pilihan-pilihan bagi hakim. Tapi kalau hakim misalnya pada waktu memilih Pasal 11 di situ ancaman pidananya minimal 1 tahun sampai 5 tahun. Artinya rentang gerak yang diberikan hakim untuk menjatuhkan pidana hanya antara 1 sampai 5 tahun, tidak boleh lebih dari itu," bebernya.

Sementara, Guru Besar Fakultas Hukum dan Masyarakat Undip Prof Esmi Warasih mengatakan tujuan hukum itu sejatinya tidak untuk mencari kesalahan, tapi memunculkan kebenaran. Sehingga proses hukum itu menghasilkan rasa keadilan.

"Sebab tujuan hakiki daripada hukum adalah untuk menciptakan kebahagiaan, kedamaian, kesejahteraan, dan kemanfaatan bagi manusia, bukan untuk melanggengkan kesengsaraan," katanya.

Menurutnya, norma hukum semestinya bisa diseimbangkan dengan norma-norma lain dalam masyarakat yang berinteraksi dengannya. "Hukum harus mampu mewujudkan rasa keadilan dan keseimbangan dengan norma budaya, etika, moral, dan norma agama seperti tercermin dalam cita hukum negara kita yaitu Pancasila," papar Esmi.

Berkaca dari kasus hukum yang menjerat mantan Ketua DPD RI Irman Gusman. Secara tekstual-yuridis, ia dianggap telah bersalah oleh Pengadilan Tipikor dan dijatuhi hukuman penjara empat tahun enam bulan ditambah pencabutan hak politiknya selama tiga tahun.

Menurut Esmi, dilihat dari kaca mata sosiologi hukum, sulit untuk menghadirkan keadilan ketika tolok ukur yang digunakan adalah neraca hukum tekstual semata. "Tidak mungkin dari sudut pandang yang sempit itu kita bisa menilai rekam jejak, manfaat dan hasil kerja dan jasa-jasa seorang mantan pejabat tinggi negara dalam totalitas kehidupan dan darma baktinya," katanya.

Dia menambahkan, dari sudut pandang penerima manfaat, Irman Gusman bisa dianggap sebagai pahlawan yang telah terkorbankan gara-gara membela kepentingan masyarakat di daerahnya, yaitu upayanya untuk menurunkan harga gula. Selain itu, ia juga sama sekali tidak terbukti merugikan keuangan negara.

"Maka sedikit sumir bila seorang wakil rakyat dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya harus pula dijerat oleh hukum, dengan alasan tekstual. Padahal terbukti bahwa masyarakat di daerahnya menerima manfaat yang besar dari hasil kerja itu. Artinya, dia mendatangkan manfaat, tapi dikorbankan," katanya.

Jadi pendekatan yang dilakukan penegak hukum, tegas dia, harus terjadi pegeseran yang kuat. Karena kalau tidak, akan terjadi pendekatan pasal-pasal. "Sementara pasal-pasal ini juga harus dimaknai. Kalau tidak dilakukan dengan pendekatan nonhukum, maka pada akhirnya terbelenggu kaku," katanya.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.9769 seconds (0.1#10.140)