Memperkosa Pria Lebih Buruk daripada Memperkosa Wanita

Sabtu, 29 Juni 2019 - 14:31 WIB
Memperkosa Pria Lebih Buruk daripada Memperkosa Wanita
Pengadilan Beer Sheva, Israel. Foto/Haaretz/Eliyahu Hershkovitz
A A A
TEL AVIV - Serangan seksual terhadap pria menurut Seorang hakim perempuan Israel akan merusak maskulinitas korban. Oleh karena itu dirinya berpendapat pemerkosaan terhadap pria lebih buruk daripada pemerkosaan terhadap wanita.

Hakim Pengadilan Beer Sheva Sara Haviv mengatakan seorang pria akan menderita rasa malu dan bersalah lebih besar jika menjadi korban pemerkosaan.

Pendapat kontroversial hakim Sara Haviv itu ditulis dalam sebuah putusan hukum sebuah kasus yang dia adili.

"Karena harapan sosial...bahwa ia seharusnya merespons dan menghentikan serangan itu," tulis Haviv dalam sebuah putusan kasus yang dia adili, seperti dikutip Haaretz, Jumat (28/6/2019).

Kasus itu melibatkan seorang pria berusia 50-an tahun yang melakukan pelecehan seksual terhadap turis pria Jerman dua tahun lalu. Turis berusia 28 tahun tersebut sedang berlibur di Laut Mati dan menemukan bahwa tidak ada air mengalir di ruang ganti. Penyerang, yang bekerja di kios terdekat, menawarkan untuk menunjukkan kepadanya ke ruang ganti yang memang memiliki air mengalir.

Tetapi ketika mereka sampai di sana, penyerang menuangkan air botol ke turis, membelai dadanya, memasukkan tangannya ke celana dan meraih organ kemaluan korban. Pelaku melanjutkan serangan meskipun ada permintaan korban untuk berhenti sampai akhirnya korban berhasil melarikan diri.

Haviv menghukum penyerang tersebut dengan hukuman 12 bulan penjara, denda 2.000 shekel dan memerintahkan membayar 20.000 shekel kepada korban sebagai kompensasi.

Dia mengatakan hukuman yang relatif keras itu dibenarkan karena korbannya adalah seorang pria.

"Kerusakan yang dilakukan pada pengadu lebih besar dari biasanya karena jenis kelaminnya," tulis Haviv. “Selain dari kerusakan langsung yang disebabkan oleh serangan itu, pengadu menderita kerugian karena fakta bahwa dia adalah laki-laki."

"Pengadu merasa, sebagian karena harapan sosial dalam kasusnya, bahwa ia seharusnya merespons dan menghentikan serangan lebih awal daripada yang dilakukannya. Dia merasa malu dan bersalah besar karena jenis kelaminnya, di atas rasa malu dan bersalah yang biasanya menyusul pelecehan seksual (yang dialami)," ujarnya.

Alasan lain untuk kerasnya hukuman tersebut adalah bahwa tindakan penyerang memicu fitnah terhadap Israel. "Dia (korban) berpikir ini adalah kebiasaan setempat dan karenanya tidak menghentikan terdakwa," lanjut Haviv.

"Penyerang mengeksploitasi fakta bahwa pelapor berada di tempat yang aneh," katanya. "Ada alasan untuk memperketat hukuman ketika kejahatan seks dilakukan terhadap turis."

Pengacara terdakwa, Shapiro-Saar, mengatakan kliennya hanya salah membaca situasi. Dia percaya bahwa perjumpaan seksual itu dengan persetujuan korban, dan berhenti begitu kliennya menyadari bahwa turis itu keberatan. Namun, Haviv menolak argumen tersebut.

Shapiro-Saar mengatakan dia berencana untuk mengajukan banding atas putusan bersalah dan hukuman yang dijatuhkan terhadap kliennya.

"Tidak dapat dibayangkan bahwa hukuman seorang terdakwa harus ditingkatkan karena alasan diskriminatif," katanya. "Dengan segala hormat terhadap fakta bahwa pengadu adalah pria dan warga negara asing, ini tidak membuat kerusakan yang berbeda dari yang dialami oleh korban penyerangan, wanita atau pria."

Shapiro-Saar menuduh bahwa putusan itu mendiskriminasi tiga kali terhadap komunitas LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender). Dia mengatakan dasar putusan hakim itu berarti serangan homoseksual secara inheren layak dihukum lebih keras ketimbang serangan terhadap perempuan.
(nun)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.6987 seconds (0.1#10.140)