Ini Enam Tuntutan Mahasiswi Korban Pelecehan Seksual kepada UGM

Kamis, 10 Januari 2019 - 21:30 WIB
Ini Enam Tuntutan Mahasiswi Korban Pelecehan Seksual kepada UGM
Kuasa hukum AL, mahasiswi UGM korban pelecehan seksual memberikan keterangan soal perkara yang dialami kliennya di kantor Rifka Annisa WCC Yogyakarta, Kamis (10/1/2019). FOTO/SINDOnews/PRIYO SETYAWAN
A A A
SLEMAN - Kasus dugaan pelecehan seksual terhadap mahasiswi Fisip UGM, AL oleh mahasiswa Fakultas Teknik UGM, HS saat kuliah kerja nyata (KKN) di Pulau Seram, Maluku, pada 2017 lalu terus bergulir. Kali ini dari pihak AL melalui tim kuasa hukumnya yang memberikan tanggapan soal kasus tersebut. Ada dua hal yang menjadi fokus, yaitu soal proses hukum dan hasil sidang kode etik UGM.

"Untuk proses hukum, kami tegaskan AL selama ini tidak pernah membawa kasus itu ke ranah hukum, yaitu melaporkannya ke kepolisian. Untuk kode etik meminta UGM segera mengirimkan salinan hasilnya," kata Ketua Tim Kuasa Hukum, AL dari Rifka Annisa Women Crisis Center (WCC) Yogyakarta, Catur Udhy Handayani kepada media di Aula kantor Rifka Annisa WCC, Kamis (10/1/2019).

Catur menjelaskan sebagai tim kuasa hukum yang selama ini mendampingi AL, Rifka Annisa juga sudah sepakat dengan Rektorat UGM untuk tidak melaporkan kasus tersebut secara hukum. Sebab proses hukum hanya memberikan hukuman kepada pelaku tapi tidak bisa memenuhi hak-hak korban. "Proses hukum juga tidak memberikan konseling kepada pelaku," katanya.

Untuk proses hukum, AL selama ini tidak pernah mendapatkan pendampingan hukum dari UGM. Padahal kampus seharusnya memiliki kesadaran atas hak AL untuk mendapatkan informasi dan pendampingan terkait proses hukum yang berjalan. Sebab AL telah memenuhi panggilan Polda DIY untuk memberikan keterangan sebagai saksi pada 18 Desember 2018.

"Meski penyelesaian jalur hukum bukan pilihan sejak awal, tapi kami akan tetap menghadapi proses hukum hingga tuntas," katanya.

Direktur Rifka Annisa, Suharti menambahkan, sampai saat ini belum menerima salinan keputusan dari Komite Etik yang telah dibentuk oleh UGM. Penanganan yang berlarut berpotensi menimbulkan dampak luas, tidak hanya dari sisi korban, tapi publik juga akan cenderung mengarah ke penghakiman.

Untuk itu, berikut tuntutan AL melalui kuasa hukumnya dalam kasus ini:

1. Mendorong kepolisian menuntaskan proses penyidikan sehingga kasus ini dapat diproses secara adil dan setara sampai di pengadilan sebagai bentuk pemenuhan keadilan terhadap penyintas.

2. Menuntut UGM untuk segera memenuhi hak penyintas atas informasi mengenai upaya upaya penanganan yang sudah dilakukan, terutama informasi terkait upaya upaya menindaklanjuti rekomendasi tim investigasi, kebijakan meluluskan yudisium HS, serta keputusan dan rekomendasi Komite Etik.

3. Menuntut UGM untuk segera memberikan perlindungan maksimal terhadap penyintas karena kelalaian universitas telah menyebabkan penanganan kasus Agni makin berlarut larut dan berpotensi menimbulkan tekanan psikologls lanjutan terhadap penyintas, apalagi jika hasil rekomendasi Komite Etik ternyata tidak dapat memenuhi rasa keadilan penyintas.

4. Menuntut UGM untuk segera memenuhi hak penyintas atas pendampingan psikologi hingga pulih dan dukungan material berupa pembebasan biaya kuliah hingga lulus.

5. Menuntut UGM untuk segera memulihkan nama baik penyintas, salah satunya dengan mengharuskan pelaku menandatangani surat permintaan maaf dan penyesalan di hadapan rektor dan orang tua yang bersangkutan.

6. Menuntut UGM untuk ikut menghentikan perilaku victim blaming dan tendensi-tendensi untuk mengkriminalisasi penyintas yang dilakukan oleh pihak manapun sebagai konsekuensi dari laporan polisi yang dilakukan olah Kepala SKKK UGM tanpa persetujuan (consent) dan konsultasi dengan penyintas.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.8814 seconds (0.1#10.140)