Mengundang Maskapai Asing Bentuk Ketidakmampuan Mengelola

Rabu, 12 Juni 2019 - 21:32 WIB
Mengundang Maskapai Asing Bentuk Ketidakmampuan Mengelola
Chappy Hakim menilai memasukkan maskapai asing sebagai bentuk ketidakmampuan mengelola industri penerbangan. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Wacana mengundang maskapai asing masuk ke Indonesia menimbulkan kritikan berbagai pihak. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo melontarkan wacana untuk mengundang maskapai asing untuk melayani rute domestik bersama perusahaan penerbangan dalam negeri lainnya. Menurutnya dengan penambahan jumlah pemain bisnis penerbangan diharap bisa menekan harga tiket pesawat.

Namun wacana mengundang maskapai asing dianggap sebuah ketidakmampuan oleh mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara era Megawati, Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim.

"Usulan memasukkan maskapai asing ke dalam pasar penerbangan Indonesia justru kontradiktif, disaat kita gegap gempita berusaha mengambil alih perusahaan-perusahaan asing. Kok sekarang kita justru mengundang maskapai asing," ujar Chappy Hakim yang juga dikenal sebagai pengamat penerbangan, Rabu (12/6/2019).

Menurut Chappy, bila maskapai asing masuk tentu uangnya tidak akan mengalir ke Indonesia melainkan ke luar negeri tempat asal maskapai tersebut. Bila maskapai asing masuk, kata Chappy, harus ada syarat dimana Indonesia meminta saham dan pembangunan bandara kepada pihak mereka.

"Usulan memasukkan maskapai asing justru sebuah ketidakmampuan kita dalam mengelola. Kenapa kita musti mengundang maskapai asing kalau kita masih bisa mengelola?" tanya Chappy Hakim.

Chappy menjelaskan bahwa ketika kita mengundang orang asing untuk mengelola sesuatu di dalam negeri, itu adalah sinyal kuat yang menunjukkan bahwa kita tidak mampu.

"Mengundang maskapai asing ke Indonesia akan bertabrakan dengan dua hal yang sangat prinsipal, yaitu Regulasi Internasional Cabotage Article 7 Chicago Convention dan mekanisme pengambilan keputusan. Artikel itu bukan berarti melarang maskapai asing masuk, tetapi artikel itu memuat hak untuk menolak termisi (right to refuse). Hal ini berakar dari sejarahnya yaitu Paris Convention 1919 terkait kedaulatan negara di ranah udara yang konkret dan ekslusif. Kekhawatiran negara-negara atas adanya negara lain yang menggunakan wilayah udaranya kemudian dituangkan ke dalam artikel 7 tersebut," jelas Chappy lebih jauh.

Pengamat aviasi itu menuturkan bahwa hukum ini berbeda dengan hukum laut, dimana hukum laut masih membolehkan orang untuk melintas dengan damai.

"Selanjutnya, maskapai asing ini akan berhadapan dengan mekanisme pengambilan keputusan dan problem solving. Ketika kita sedang menghadapi suatu permasalahan, kita harus mencari tahu akar permasalahannya sebelum mengambil solusi," ujarnya.
(nun)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.5978 seconds (0.1#10.140)