Koalisi Masyarakat Sipil Duga Penanganan Aksi 21-22 Mei Langgar HAM

Senin, 27 Mei 2019 - 02:57 WIB
Koalisi Masyarakat Sipil Duga Penanganan Aksi 21-22 Mei Langgar HAM
Kolisi yang terdiri dari YLBHI, Kontras, LBH Jakarta, AJI, Amnesty Internasional, LBH Pers, dan Lokataru Foundation menyatakan keprihatinan terkait dengan kerusuhan di Kantor Bawaslu 21-22 Mei. Foto/SINDOnews/Rakhmatulloh
A A A
JAKARTA - Kerusuhan yang mewarnai aksi unjuk rasa menyikapi hasil rekapitulasi suara Pilpres 2019 mengundang keprihatinan banyak pihak. Salah satunya disampaikan Koalisi Masyarakat Sipil.

Kolisi yang terdiri dari YLBHI, Kontras, LBH Jakarta, AJI, Amnesty Internasional, LBH Pers, dan Lokataru Foundation menyampaikan indikasi fakta di balik dugaan pelanggaran HAM dalam penanganan aksi tersebut.

"Lembaga yang membuat pemantauan dari ini hanyalah temuan awal. Artinya masih akan ada lagi ke bulan berikutnya yang lebih dalam dari pertemuan awal ini, setidaknya ada 14 hal yang kami temukan (terkait insiden kerusuhan)," kata Direktur YLBHI, Asfinawati dalam jumpa pers bersama di Gedung YLBHI, jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta, Minggu (26/5/2019).

Pertama, kata Asfinawati, terkait dengan pecahnya insiden yang mengarah pada kerusuhan. Kedua terkait korban-korban yang disebutnya sangat banyak dan terdiri dari berbagai kalangan usia dan juga dari berbagai kalangan seperti jurnalis, peserta aksi, masyarakat umum, orang-orang yang ada di sekitar yang tidak tahu apa-apa, dan ketiga memberikan sebuah pertemuan awal tentang penyebab.

"Yang keempat adalah soal pencarian dalang di balik ini semua. Kelima tentang tim investigasi internal yang dibuat oleh kepolisian dan keenam adalah indikasi kesalahan kenangan para Demonstrasi setuju mengenai penutupan akses tentang korban oleh rumah sakit. Jadi hampir seluruh meskipun ada yang terbuka nyari rumah sakit tidak memberikan keterangan yang jelas tentang korban," papar dia.

Berikutnya yang ke-7, kata Asfi, sapaan akrabnya adalah terkait dengan penanganan korban yang tidak segera. Menurutnya, semua pihak bisa melihat di jalan raya ada orang bergelimpangan dan tidak ada yang melakukan penanganan untuk keselamatan jiwa mereka.

Kemudian ke-8, penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Ke-9, kata Asfi, ada hambatan informasi untuk keluarga yang ditahan.

"Ke-10, orang ada salah tangkap. Yang ke-11 kita tahu ada penghalang-halangan peliputan kepada jurnalis dengan berbagai modus. Ke12, pada orang yang ditangkap baik untuk umum keluarganya maupun para advokat ,13 pembatasan komunikasi dan media sosial.

Namun demikian, lanjut Asfi, yang ke-14 memuat fakta bahwa peristiwa ini menunjukkan sesungguhnya aparat keamanan di Indonesia masih aparat penegak hukum atau dengan kata lain masih menggunakan pendekatan keamanan. Seharusnya, kata dia, kepolisian adalah faktor keamanan yang seharusnya menjadi sipil ,dia adalah bagian dari sipil serta bagian dari masyarakat karena itu mereka tidak boleh melakukan penggunaan kekerasan yang berlebih-lebihan.

Asfi mengatakan, ada banyak sekali aturan untuk mereka dan tentunya dengan kerjanya mereka harus mengedepankan praduga tidak bersalah. Kata Asfi, praduga tidak bersalah artinya tidak ada seorang pun berhak untuk dihukum sebelum mereka mengalami suatu proses peradilan di mana polisi, penyidik, dan penuntut adalah pendidim. Bahkan pengadilan pun tidak bisa menghukum, karena yang menghukum sesungguhnya lembaga pemasyarakatan.

"Yang memprihatinkan bagi kami adalah ternyata penggunaan kekerasan ini dipertontonkan kepada publik dan menawar publik ternyata sudah dirusak oleh perseteruan elit karena banyak sekali komentar-komentar masyarakat yang kita lihat tidak menyatakan keprihatinan terhadap kekerasan itu tetapi justru menyoraki atau menyetujui kekerasan itu tentu saja kita tidak setuju dengan kekerasan apapun kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat tidak setuju tetapi kita harusnya lebih tidak setuju lagi apabila kekerasan itu diproduksi oleh negara dilakukan oleh aparat yang harusnya menjaga penegakan hukum dan karena itu tentu saja kami mengatakan sesungguhnya yang paling bertanggung jawab selain aktor-aktor di lapangan adalah para elit dan kini semua telah mengakibatkan demokrasi kita terancam," pungkasnya.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.1890 seconds (0.1#10.140)