Jurnalis Alami Kekerasan saat Liputan Aksi 22 Mei

Kamis, 23 Mei 2019 - 19:23 WIB
Jurnalis Alami Kekerasan saat Liputan Aksi 22 Mei
Tindak kekerasan dan intimidasi kembali menimpa sejumlah jurnalis TV, radio dan online. Sebanyak delapan orang jurnalis menjadi korban kekerasan saat meliput aksi 22 Mei 2019. Foto/Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Sejumlah jurnalis mengalami kekerasan saat meliput aksi massa di sekitar Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang berujung ricuh pada Rabu 22 Mei 2019.

Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mengecam keras tindak kekerasan dan intimidasi itu. Berdasarkan laporan yang diterima IJTI, tindak kekerasan dan intimidasi menimpa sejumlah jurnalis TV, radio dan online. Mereka di antaranya, Budi Tanjung (jurnalis CNN Indonesia TV), Aji Fatahilah (jurnalis Inews), Ryan (CNN Indonesia.com), Ryan (jurnalis MNC Media), Fajar (jurnalis Radio Sindo Trijaya), Fadli Mubarok (jurnalis Alinea.id), dan dua jurnalis RTV, yaitu Intan Bedisa dan Rahajeng Mutiara Budi Tanjung, jurnalis Transmedia dipukul di bagian kepala dan rekaman videonya di ponsel dihapus oleh beberapa oknum anggota Brimob di depan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jalan Wahid Hasyim, Jakarta Pusat.

Sedangkan Aji Fatahilah dipukul oleh oknum Brimob saat melakukan peliputan di depan kantor Bawaslu, Jakarta Pusat. Ryan jurnalis dari CNN Indonesia.com juga mengalami hal sama. Ryan mengalami kekerasan saat melakukan peliputan di sekitar jalan Jati Baru, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

"Kekerasan terhadap jurnalis juga dilakukan oleh massa aksi. Mereka melakukan persekusi dan merampas peralatan kerja jurnalis seperti kamera, telepon genggam, dan alat perekam. Massa memaksa jurnalis untuk menghapus semua dokumentasi berupa foto maupun video. Beberapa jurnalis bahkan mengalami tindak kekerasan fisik berupa pemukulan," tutur Ketua Umum Pengurus Pusat IJTI, Yadi Hendriana dalam keterangan tertulis kepada SINDOnews, Kamis (23/5/2019).

Yadi menegaskan IJTI mengecam keras tindak kekerasan tersebut. Sudah jelas tugas jurnalis dilindungi oleh undang-undang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 8 Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyatakan dalam menjalankan profesinya jurnalis mendapat perlindungan hukum.

Kerja-kerja jurnalistik meliputi mencari bahan berita, memeroleh, memiliki, menyimpan, mengolah, hingga menyampaikan kepada publik. Oleh karena itu, kata dia, pelaku tindak kekerasan bisa dijerat pasal pidana yang merujuk pada KUHP, serta Pasal 18 UU Pers, dengan ancaman dua tahun penjara atau denda Rp500 juta

Menanggapi tindak kekerasan tersebut, IJTI menyatakan sikap sebagai berikut:Pertama, IJTI mendesak Propam Polri menindak tegas dan memproses sesuai hukum yang berlaku bagi oknum anggota Polri yang telah melakukan kekerasan terhadap para Jurnalis.

Kedua, mendesak aparat kepolisian segera mengambil langkah tegas dan menangkap pelaku kekerasan terhadap jurnalis yang tengah menjalankan tugasnya. Ketiga, kekerasan terhadap jurnalis yang tengah bertugas adalah ancaman nyata bagi kebebasan pers dan demokrasi yang tengah tumbuh di tanah air.

Keempat, meminta aparat keamanan dan masyarakat untuk menghormati dan mendukung iklim kemerdekaan pers, tanpa ada intimidasi serta menghalangi kerja jurnalis di lapangan.

Kelima, mengimbau kepada para pimpinan media massa untuk bertanggung jawab menjaga dan mengutamakan keselamatan jurnalisnya. Sebab, tidak ada berita seharga nyawa.

Keenam, mengimbau seluruh jurnalis televisi waspada, berhati-hati dan mengutamakan keselamatan safety first saat menjalankan tugasnya. Salah satunya dengan tidak memaksakan diri mengambil gambar terlalu dekat di tengah kerumunan massa saat kericuhan terjadi.

Ketujuh, Mengingatkan kepada seluruh jurnalis di Indonesia agar selalu berpegang teguh pada kode etik jurnalistik dalam menjalankan tugasnya. Fungsi pers adalah menyuarakan kebenaran serta berpihak pada kepentingan orang banyak.
(nun)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.8751 seconds (0.1#10.140)