Kebijakan Pembatasan Medsos Dikritik, Bukan Cara Efektif Atasi Hoaks

Kamis, 23 Mei 2019 - 06:30 WIB
Kebijakan Pembatasan Medsos Dikritik, Bukan Cara Efektif Atasi Hoaks
Kebijakan pembatasan akses media sosial (medsos) seperti WhatsApp (WA), Facebook, atau pun Instagram yang dilakukan pemerintah saat ini dinilai bukan sebagai langkah yang terbaik. Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Masyarakat dibuat resah dengan lemot-nya akses sejumlah media sosial kemarin. Kebijakan pembatasan akses media sosial (medsos) seperti WhatsApp (WA), Facebook, atau pun Instagram yang dilakukan pemerintah saat ini dinilai bukan sebagai langkah yang terbaik.

Pengamat komunikasi politik London School of Public Relations (LSPR) Jakarta Arif Sutanto mengatakan, harus diakui memang tidak mudah untuk menangkal hoaks ini, tapi pembatasan ini kan kemudian dampaknya jauh lebih buruk eksesnya terhadap mereka yang sebenarnya punya kepentingan dengan medsos.

"Saya misalnya beberapa teman jurnalis kontak saya tapi karena ada kesibukan, saya janji akan jawab sore hari tapi sampai malam ini gak kejawab. Saya kira ada banyak kepentingan lain yang terganggu juga seperti kepentingan bisnis yang juga menggunakan medsos," tutur Arif, Rabu (22/5/2019).

Menurutnya, kebijakan ini relatif bisa diterima dalam jangka pendek, namun pemerintah diminta untuk benar-benar mencermati seberapa efektif kebijakan pembatasan ini dilakukan.

"Dalam pandangan saya tiga hari itu sudah terlalu lama, kecuali bahwa mulai malam ini (tadi malam) sampai esok pagi, pemerintah harus dengan sangat serius mengevaluasi kebijakan ini. Bahwa dia efektif untuk membendung hoaks iya, tapi akan menjadi keprihatinan kita semua kalau cara untuk membendung hoaks itu adalah dengan memberangus kebebasan. Ini cara mudah (membatasi hoaks), tapi jelas ini bukan cara terbaik," katanya.

Namun, menurut Arif, hal yang lebih penting adalah dalam jangka menengah dan panjang yang perlu dilakukan adalah pencerdasan informasi. "Literasi informasi supaya orang aware bahwa validasi informasi itu menjadi penting. Yang kedua adalah ini tugasnya parpol pencerdaasan politik. Sesuatu yang apla dilakukan parpol sejak 1999," katanya.

Pernyataan senada disampaikan pengamat komunikasi politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Jakarta Emrus Sihombing. Menurutnya, seharusnya pemerintah melakukan analisis dengan melihat siapa pihak-pihak yang menggunakan medsos untuk kepentingan penyebaran hoaks.

"Harusnya itu yang diblokir, jangan semuanya. Kan teknologi bisa mengindentifikasi. Harusnya ini dilakukan secara selektif karena orang yang gunakan WA dan lainnya bisa dirugikan," katanya.

Padahal, menurut Emrus, medsos seperti WhatsApp atau Facebook juga bisa dimanfaatkan untuk melakukan kontrahoaks. "Misalnya di grup WA, kan bisa saling mengingatkan satu sama lain. Bisa konfirmasi. Ini yang harusnya dilakukan seleksi, bukan berlaku untuk semuanya," paparnya.
(mif)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 2.3153 seconds (0.1#10.140)