Mahasiswa Doktoral Undip Beberkan Cara Bekuk Buronan di Singapura

Jum'at, 17 Mei 2019 - 14:39 WIB
Mahasiswa Doktoral Undip Beberkan Cara Bekuk Buronan di Singapura
Efendi Lod Simanjuntak usai mengikuti ujian doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) di Semarang, Jumat (17/5/2019). FOTO/iNews/TAUFIK BUDI
A A A
SEMARANG - Buronan kasus tindak pidana korupsi acap kali kabur ke luar negeri agar lolos dari jeratan hukum di Tanah Air. Persoalan timbul, tak mudah memulangkan buronan tersebut karena terganjal perjanjian ekstradisi antarnegara.

"Pelaku-pelaku tindak pidana pencucian uang (TPPU), korupsi, banyak yang kabur ke luar negeri. Kalau di Pilpres kemarin banyak bocor-bocor (anggaran ke luar negeri)," ujar Efendi Lod Simanjuntak usai mengikuti ujian doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) di Semarang, Jumat (17/5/2019).

Dia menjelaskan, kejahatan transnasional, terutama pencucian uang lintas negara (cross-border money laundering) menjadi permasalahan global yang mengganggu perekonomian dunia dan sistem keuangan global. Akibatnya bisa merusak sendi-sendi kehidupan umat manusia secara universal.

"Globalisasi dan kemajuan teknologi informasi telah membuat pelaku pencucian uang dapat beroperasi secara lintas jurisdiksi dan seketika dapat melarikan diri ke jurisdiksi asing untuk menghindari tuntutan hukum, sehingga terjadi fenomena buronan internasional di berbagai negara. Realitas ini dapat menyebabkan impunitas terhadap pelaku yang bertentangan dengan nilal-nilai kemanusiaan dan keadilan," ujarnya.

Penegakan hukum terhadap buronan lintas negara perlu direkonstruksi karena instrumen ekstradisi yang selama ini digunakan belakangan semakin kurang efektif sehingga perlu instrumen alternatif melalui Mutual Legal Assistance (MLA) menyusul telah ditantadatanganinya ASEAN Treaty on Mutual Legal Asisstance in Criminal Matters 2004 (MLAT 2004). Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya impunitas terhadap pelaku, khususnya terhadap buronan Indonesia yang saat ini masih bersembunyi di Singapura.

"Kita lihat kasus-kasus seperti Gayus Tambunan, Nazaruddin, yang kabur ke luar negeri. Dan itu bisa dikembalikan ke Indonesia melalui instrumen di luar ekstradisi. Tapi ada yang berpandangan ekstradisi ini sesuatu yang mutlak itu yang saya bilang tidak sepenuhnya benar," katanya.

"Karena ternyata dengan Papua Nugini kita punya perjanjian ekstradisi, ternyata Joko Candra tidak bisa kita kembalikan sampai sekarang. Lalu ada Hendra Rahardja di Australia yang kabarnya sampai meninggal ternyata tidak bisa kita pulangkan untuk diadili di Indonesia. Padahal sudah ada perjanjian ekstradisi Indonesia-Australia. Jadi perjanjian ekstradisi itu bukan hal yang mutlak, pakailah Mutual Legal Assistance tahun 2004," katanya.

Sementara itu, pakar hukum internasional Prof Hikmahanto Juwana menyampaikan, memulangkan buronan di luar negeri bukan perkara mudah. Sebab, tak hanya mengidentifikasi buronan di luar negeri tetapi juga harus bekerja sama dengan negara lain.

"Sebenarnya ada tiga hal yang perlu dilakukan, pertama adalah bagaimana pemerintah bisa mengidentifikasi orang-orang tersebut, kemudian ada kerja sama dari negara itu untuk bisa mengekstradisi," kata Hikmahanto yang bertindak sebagai penguji eksternal.

"Sekarang ada ide lagi dari saudara Doktor Efendi Simanjuntak bahwa pemerintah bisa memanfaatkan sistem yang ada dengan negara-negara ASEAN, di mana Singapura salah satunya. Karena kita tahu bahwa kita dengan Singapura meski sudah perjanjian ekstradisi tapi belum efektif, sehingga ada ide dari Dr Efendi Simanjuntak bahwa ini bisa diselesaikan melalui mutual legal assitance (MLA)," katanya.

Namun hal itu perlu diuji dalam pelaksanaannya karena apa yang disampaikan merupakan sebuah ide dalam suatu disertasi. Sebab MLA 2004 sudah dilakukan untuk mengidentifikasi di mana orang (buronan) itu berada, lalu melokalisir. "Cuma masalahnya adalah bagaimana mengembalikan orang itu. Ini menjadi tantangan karena selalu dikatakan bahwa harus melalui proses ekstradisi bukan melalui MLA," katanya.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 5.3667 seconds (0.1#10.140)