Awas, Ancaman Kedaulatan di Balik Kerja Sama RI-China

Senin, 13 Mei 2019 - 23:48 WIB
Awas, Ancaman Kedaulatan di Balik Kerja Sama RI-China
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fadli Zon. Foto/SINDOnews/Yulianto
A A A
JAKARTA - Wakil Ketua DPR, Fadli Zon mengingatkan ancaman kedaulatan di balik kerjasama antara RI dan China. Menurutnya penandatanganan 23 Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepahaman terkait proyek One Belt One Road (OBOR) atau yang kini telah direvisi menjadi proyek Belt Road Initiative (BRI), antara sejumlah pebisnis Indonesia dan China dalam acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) II Belt Road Initiative (BRI) di Beijing pada 27 April 2019 silam dinilai harus soroti bersama.

Penandatanganan kerja sama yang disaksikan Wakil Presiden Jusuf Kalla dengan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan itu berpotensi memperlemah kedaulatan ekonomi dan politik Indonesia.

"Setidaknya ada tiga alasan kenapa perjanjian-perjanjian itu tak pantas dilakukan dan perlu ditinjau ulang. Pertama, hampir semua yang disebut sektor swasta di China pasti berafiliasi dengan BUMN ataupun Pemerintah RRC. Sehingga, dalih perjanjian yang diteken skemanya “Business to Business” (B to B), bukan “Government to Government” (G to G), dengan sendirinya jadi mentah," kata Wakil Ketua DPR, Fadli Zon dalam keterangan tertulisnya, Senin (13/5/2019).

Kedua, proyek itu terkait dengan geopolitik dan geostrategis yang tak bisa digampangkan sebagai semata urusan bisnis dan investasi. Perjanjian semacam itu, kata Fadli, mestinya mendapatkan supervisi dari pemerintah dan dikonsultasikan kepada DPR karena ada soal politik, pertahanan dan keamanan yang perlu dikaji di dalamnya.

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu menjelaskan, sesuai Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2000, setiap perjanjian internasional yang menyangkut enam bidang, yaitu politik, (a) perdamaian, pertahanan dan keamanan negara, (b) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara, (c) kedaulatan atau hak berdaulat negara, (d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup, (e) pembentukan kaidah hukum baru, serta (f) pinjaman dan atau hibah luar negeri, semuanya wajib mendapatkan persetujuan parlemen.

Apalagi sesudah ada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 13/PUU-XVI/2018, seluruh perjanjian internasional harus diinvetarisasi terlebih dulu oleh Pemerintah bersama dengan parlemen untuk kemudian didapatkan kesepakatan bidang mana yang mesti disahkan melalui UU atau Perpres.

"Jadi perjanjian-perjanjian yang terkait dengan OBOR atau BRI tak boleh dilepas begitu saja seolah itu adalah persoalan swasta. Sebab, ada isu geopolitik, geostrategi dan isu pertahanan keamanan di dalamnya," tandas Fadli.

Ketiga, saat ini Indonesia sedang berada pada periode transisi kekuasaan dalam siklus lima tahunan. Menurut Fadi, Sangat tidak pantas hal-hal terkait isu strategis seperti OBOR atau BRI diputuskan di masa akhir kekuasaan semacam ini. Keputusan-keputusan itu selain potensial ceroboh dinilainya juga rawan sekali ditunggangi oleh kepentingan pribadi segelintir elite.

"Kita perlu ingat, dunia saat ini sedang berada di tengah ketegangan baru, baik akibat konflik bersenjata antar-negara seperti terjadi di Suriah, Lebanon, Yaman, atau konflik yang bersifat laten sebagaimana masih menghantui Semenanjung Korea dan Laut Cina Selatan, juga akibat konflik ekonomi yang telah melahirkan perang dagang (trade war) serta gelombang baru proteksionisme. Jika pada masa Perang Dingin konfliknya bersifat bipolar, maka hari ini konfliknya bersifat plural dan multipolar," tutur Fadli.

Menurut dia, di tengah situasi tersebut, Indonesia butuh strategi diplomasi yang cerdik, bukan diplomasi asal-asalan, apalagi disetir oleh kepentingan segelintir elite. "Itu sebabnya meskipun Wakil Presiden dan Menko Kemaritiman berdalih perjanjian-perjanjian itu dilakukan oleh swasta, menurut saya kesepakatan-kesepakatan itu harus ditinjau kembali oleh pemerintah," tandasnya.

Dia mengatakan, diplomasi Indonesia, baik diplomasi politik maupun dagang seharusnya diarahkan untuk memperkuat posisi Indonesia di panggung internasional, bukan untuk menempatkan negara kita sebagai subordinat dari blok-blok dominan yang sedang bertarung dan berebut pengaruh di tingkat global.

Apalagi, kata dia, Indonesia negara yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan yang potensial menjadi arena konflik yang rumit. Diplomasi dagang Indonesia mestinya mempertimbangkan soal pertahanan dan keamanan.

"Mestinya kita memperkuat kerjasama dengan negara-negara Selatan, mendorong terbentuknya blok dagang baru yang berkomitmen terhadap perdamaian, untuk menciptakan politik perimbangan. Kita tentu harus menghormati RRC yang kini telah menjadi negara adidaya baru. Namun, di sisi lain, kita juga harus mewaspadai segala politik ekspansionis yang merugikan kepentingan nasional," tuturnya.

Bagaimanapun, kata dia, proyek OBOR pertama-tama mewakili kepentingan China yang berambisi membangun jalur sutera baru di abad ke-21, baik di jalur darat, maupun maritim. Meskipun kemudian istilah OBOR telah diperhalus menjadi BRI, karena telah memancing reaksi serius di negara-negara Barat, namun tetap saja inisiatif BRI masih dilihat oleh para pengamat Barat sebagai kuda troya untuk mengukuhkan dominasi China dalam jaringan perdagangan global, termasuk potensial menjadi alat ekspansi militer mereka.

Menurut Fadli, Indonesia perlu mempertimbangkan semua perspektif mengenai hal ini. Apalagi, Indonesia memiliki pengalaman tak menyenangkan dengan model kerjasama Turnkey Project yang memberi karpet merah bagi pekerja kasar China masuk ke Indonesia.

Dia menegaskan ada beberapa alasan kenapa nota-nota kesepahaman itu perlu ditinjau kembali dan diberi supervisi oleh Pemerintah. Pertama, meski disebut kerja sama “Business to Business” (B to B), bukan “Government to Government” (G to G), namun kerja sama ini tidaklah gratis.
Proyek-proyek tersebut, kata dia, mensyaratkan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan Cina, juga menggunakan alat-alat, barang-barang serta tenaga kerja dari China. "Nilai tambah kerja sama ini hanya menguntungkan China," ujarnya.

Kedua, kata dia, adanya potensi jebakan utang yang kemudian terkonversi jadi penguasaan sumber daya. Bercermin dari pengalaman Srilanka, atau Djibouti di Afrika Timur, proyek-proyek infrastruktur yang gagal bayar pada akhirnya jatuh ke penguasaan China.

"Kita tentu tak ingin kawasan-kawasan strategis atau infrastruktur-infrastruktur strategis yang sedang kita bangun nantinya dikuasai asing," katanya.

Sebagai catatan, kata Fadli, selain Srilanka dan Djibouti, saat ini ada delapan negara yang telah terlilit jebakan utang China, yaitu Pakistan, Maladewa, Montenegro, Laos, Mongolia, Kyrgyzstan dan Tajikistan. Sejauh ini Pakistan adalah korban jebakan utang yang paling parah. Negara tersebut terikat perjanjian China-Pakistan Economic Corridor senilai USD62 miliar, atau sekitar Rp900 triliun. Pemerintah Cina mengambil 80% dari seluruh proyek yang sebagian besar berupa proyek pembangkit listrik tersebut.

Fadli memaparkan, penolakan dan koreksi perjanjian dagang dengan China juga telah dilakukan pemerintah Malaysia di bawah Mahathir Mohammad. Mereka berhasil merevisi perjanjian terkait proyek pembangunan jaringan kereta api pantai timur (ECRL) yang dianggap merugikan kepentingan nasional Malaysia yang sebelumnya telah diteken oleh pemerintahan Najib Razak yang korup dan penuh skandal itu.

Pada masa pemerintahan Perdana Menteri Najib Razak, proyek kereta api tersebut diperkirakan membutuhkan dana sekitar Rp225 triliun. Sesudah diancam akan dibatalkan oleh Mahathir, nilai investasi proyek itu bisa dipangkas tinggal Rp151 triliun saja. Kita berharap Pemerintah juga berani memberikan tekanan serupa kepada Cina, bukannya membiarkan kepentingan kita yang ditekan oleh Cina.

"Kita ingat, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, misalnya, awalnya mereka yang komitmen akan membangun dalam skema B to B. Belakangan, sesudah proyek tersebut diberikan pada mereka, mereka menuntut pemerintah Indonesia memberikan jaminan keuangan. Ini kan tak benar. Jangan sampai hal-hal semacam itu terulang lagi pada kasus dan proyek yang lain," tuturnya.

Menurut Fadli, soal utang China tak bisa dianggap kecil. Data terakhir yang dirilis Bank Indonesia melalui Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) April 2019, status terakhir posisi utang luar negeri pada Februari 2019 dari Pemerintah Cina adalah sebesar US$17,7 miliar, atau setara Rp248,4 triliun dengan kurs Rp14.000.

Dari jumlah tersebut, yang dikelola pemerintah sebesar Rp22,8 triliun, sementara sisanya sebesar Rp225,6 triliun dikelola oleh swasta. Perlu diketahui dalam pencatatan data utang, utang BUMN dicatatkan sebagai utang swasta.

"Kita harus berhati-hati dalam bersinggungan dengan proyek OBOR atau BRI yang digagas RRC. Jangan sampai kepentingan nasional kita tergadaikan karena diplomasi dagang dan pertahanan kita didikte oleh kepentingan sejumlah elite," katanya.
(nun)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.1277 seconds (0.1#10.140)