Mahasiswa Indonesia Kerja Paksa di Taiwan, Menristek: Mereka lewat Calo

Jum'at, 04 Januari 2019 - 07:26 WIB
Mahasiswa Indonesia Kerja Paksa di Taiwan, Menristek: Mereka lewat Calo
Menristekdikti Mohamad Nasir sebut mahasiswa yang kerja paksa di Taiwan jasa calo atau agensi. FOTO/iNews/TAUFIK BUDI
A A A
SEMARANG - Ratusan mahasiswa asal Indonesia dikabarkan menjalani kerja paksa di Taiwan. Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir memastikan mereka tidak melalui program dari Kemenristekdikti tapi menggunakan jasa calo atau agensi.

"Dengan kata lain, mereka melalui jalur calo itu. Dari calo itu, mereka berangkat ke sana sendiri, ditawari bisa masuk perguruan tinggi sana. Ternyata tidak bisa diterima. Akhirnya dia bekerja di perusahaan. Akhirnya (jadi korban) penipuan kan,” kata Nasir di sela Rapat Kerja Nasional (Rakernas) 2019 Kemenristekdikti, di Universitas Diponegoro, Semarang, Kamis (3/1/2019).

Dia pun mengatakan, hingga saat ini masih menyelidiki kasus ratusan mahasiswa yang menjalani kerja paksa tersebut. Di antaranya berkoordinasi dengan Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) di Taipei, Taiwan.

"Oleh karena itu kami akan bekerja sama dengan TETO (Taipei Economic and Trade Office), KDEI yang ada di Taiwan maupun yang ada di Jakarta. Saya sudah minta pada Dirjen Kelembagaan nanti berkoordinasi dengan TETO yang ada di Jakarta," katanya.

Untuk itu, Nasir mengimbau masyarakat tak mudah percaya dengan janji dan iming-iming yang disampaikan calo maupun agensi. Setiap warga negara Indonesia yang ingin melanjutkan studi ke luar negeri bisa berkoordinasi dengan Kemenristekdikti agar tak menjadi korban penipuan.

"Saya berharap seluruh rakyat Indonesia yang akan studi lanjut ke Taiwan, tolong dicek betul. Apakah proses pembelajarannya benar atau tidak? Karena di Taiwan perguruan tinggi baik, kelas dunia juga banyak. Jangan sampai kita men-generaliasi itu bermasalah semua di Taiwan," katanya.

Kabar kasus kerja paksa ratusan mahasiswa asal Indonesia itu berawal dari informasi politikus Kuomintang Ko Chih-en. Para pelajar itu berusia di bawah 20 tahun dan masuk kelas hanya dua hari dalam sepekan.

Selama empat hari menjadi buruh di pabrik menjadi buruh dari pagi hingga malam. Mereka bekerja mengemas 30.000 lensa kontak selama 10 jam per shift. Sementara waktu yang disediakan untuk istirahat hanya dua jam. Meski mayoritas Muslim, tapi mereka hanya mendapatkan makanan dari babi.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.8822 seconds (0.1#10.140)