ADPRIL : Quick Count Tidak Bisa Untuk Bukti Perselisihan Pemilu

Jum'at, 19 April 2019 - 07:42 WIB
ADPRIL : Quick Count Tidak Bisa Untuk Bukti Perselisihan Pemilu
Ketua Dewan Penasihat Advokat Independen Untuk Pemilu Jujur dan Adil (ADPRIL) Hamdan Zoelva. DOK/SINDOnews
A A A
YOGYAKARTA - Para advokat yang tergabung dalam Advokat Independen Untuk Pemilu Jujur dan Adil (ADPRIL) ikut bersikap terkait Pemilu 2019 kali ini. Mereka menyatakan untuk gugatan perselisihan pemilu, tidak bisa menggunakan quick count sebagai alat pembuktian hukum.

Koordinator ADPRIL, Andi Ryza Fardiansyah bersama Ketua Dewan Penasihat ADPRIL, Hamdan Zoelva dalam siaran pers yang diterima SINDOnews menyatakan, berdasarkan UU No 7/2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 381 s/ d Pasal 409, penghitungan yang dijadikan dasar dalam menentukan atau menetapkan calon terpilih adalah hasil penghitungan manual yang dilakukan berjenjang. Hal ini dimulai dari tingkat TPS, PPS, PPK, KPU Kabupaten, KPU Provinsi dan KPU.

"Oleh karena itu, siapa yang akan ditetapkan menjadi calon terpilih, menurut hukum harus menunggu hasil penetapan resmi dari KPU berdasarkan penghitungan dan rekapitulasi berjenjang yang dilakukan oleh KPU," terang Hamdan Zoelva dalam siaran pers, Kamis (18/4/2019).

Dengan demikian, maka pasangan calon atau partai politik yang tidak setuju atau mempersoalkan hasil penghitungan manual oleh KPU, hanya dapat mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilihan umum ke Mahkamah Konstitusi.

Untuk memberikan bukti hukum yang cukup bagi siapa pun yang mengajukan perselisihan hasil pemilu lanjutnya, harus membawa alat kesalahan atau kecurangan pada penghitungan yang dilakukan oleh KPU. Bukti-bukti yang diajukan baik berupa bukti tertulis berita acara penghitungan yang benar maupun keterangan saksi-saksi yang menyaksikan secara langsung.

"Hasil penghitungan quick count tidak bisa dijadakan dasar pembuktian untuk menyatakan siapa yang menang atau kalah dalam pemilihan," tandasnya.

Dalam kesempatan tersebut ADPRIL juga berpendapat hasil penghitungan cepat (quick count) yang dirilis oleh beberapa lembaga survei, tidak dapat dipergunakan sebagai bukti hukum untuk menentukan pemenang dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden untuk masa jabatan 2019-2024.

Mereka beralasan hitung cepat merupakan kegiatan akademis dengan menggunakan metodologi ilmu pengetahuan untuk memprediksi perolehan hasil pemilihan umum.

"Walaupun hasil quick count, pada umumnya sama atau tidak jauh berbeda dengan hasil penghitungan manual, tetapi secara hukum tetap saja hasil quick count tidak dapat dijadikan dasar pegangan untuk menyatakan kemenangan atau keterpilihan dalam kontestasi pemilihan umum," ungkapnya.

Dilanjutkannya, penghitungan cepat hanya merupakan salah satu bentuk partisipasi masyarakat dalam Pemilu sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7 tahun 2017. Untuk itu ADPRIL meminta kepada para pasangan calon, tim kampanye, partai politik, serta simpatisan masing-masing dan warga masyarakat untuk bersabar menungggu hasil penghitungan manual yang dilakukan oleh KPU.

Untuk menjamin proses penghitungan tersebut berjalan benar, jujur dan adil, kepada pasangan calon, tim kampanye serta para simpatisan bisa mengawal proses penghitungan tersebut dan mengumpulkan bukti-bukti sebagai bahan yang menjadi alat bukti yang akan diajukan ke Pengadilan apabila merasa keberatan atas penghitungan dan penetapan yang dilakukan oleh KPU.

Selain itu untuk parpol, pasangan capres, timses dan simpatisan dan diharapkan tidak melakukan perayaan kemenangan hanya atas dasar quick count atau hasil penghitungan manual sementara yang dilakukan oleh KPU. "Hasil penghitungan manual sementara tidak menggambarkan hasil pemilihan secara keseluruhan karena proses penghitungan yang belum selesai seluruhnya," tambah Andi Ryza.
(nun)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.0146 seconds (0.1#10.140)