Indonesia Jadi Penghasil Emisi Gas Rumah Kaca Terbesar di Dunia

Senin, 15 April 2019 - 05:39 WIB
Indonesia Jadi Penghasil Emisi Gas Rumah Kaca Terbesar di Dunia
Para pembicara dalam seminar internasional Low Carbon Eco District In Indonesia yang diselenggarakan oleh Fakultas Teknik UCY. FOTO/IST
A A A
YOGYAKARTA - Indonesia harus benar benar berusaha keras memerangi dampak pemanasan global (global warming). Ini lantaran saat ini Indonesia menjadi negara terpadat keempat yang menghasilkan emisi gas rumah kaca terbesar di dunia.

Perwakilan dari Green Building Low Carbon Eco District- French Agency Environment And Energy Management Matthieu Caille mengatakan, untuk memerangi perubahan iklim dan berkontribusi pada upaya seluruh dunia yang diprakarsai dengan penandatanganan Perjanjian Paris, Indonesia sebenarnya telah menetapkan berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 29% pada 2030.

Upaya tersebut dilakukan dengan mencari solusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di kota-kota di Indonesia. "Saat ini Indonesia memang menjadi negara terpadat keempat, yang menghasilkan emisi gas rumah kaca terbesar di dunia," terangnya saat seminar Internasional tentang Low Carbon Eco District In Indonesia yang diselenggarakan oleh Fakultas Teknik Universitas Cokroaminoto Yogyakarta (UCY), Sabtu (13/4/2019).

Dijelaskannya, kota-kota di Indonesia memiliki dampak positif dan negatif terhadap total emisi gas rumah kaca di Indonesia, dan tampak jelas bahwa mencari solusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di Indonesia dimulai dengan mencari solusi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca di kota-kota di Indonesia. Untuk menghindari permasalahan itu dibutuhkan penyadaran bersama semua elemen baik pemerintah, masyarakat, pelaku industri dan kampus seperti UCY ini untuk mulai dari hal yang paling sederhana.

"Bisa dengan mengubah kebiasaan selalu menggunakan kendaraan bermotor, mengurangi sampah, menanam pohon, merancang perumahan secara vertical dengan efisien energi listrik, memanfaatkan ruang bangunan untuk penghijauan, dan semua pola ecogreen," ujarnya.

Sebagai bagian dari kerja sama dalam urbanisme berkelanjutan antara Prancis dan Indonesia, kata dia, program Low Carbon Eco District (LCED) telah dimulai pada 2017 yang juga bekerjasama langsung dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Republik Indonesia. Hal ini dilakukan untuk merefleksikan dan menemukan solusi tentang cara mendesain, merencanakan dan mengimplementasikan solusi rendah karbon pada skala bangunan perkotaan. "Dan salah satu pilot project-nya dilaksanakan di Kota Yogyakarta," tandas Matthieu.

Ketua Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik UCY, Nurokhman mengungkapkan, dari hasil penelitian terkait Kota Yogyakarta sebagai wilayah Kawasan Startegi Pariwisata Nasional, penataan permukiman kumuh bantaran Sungai Gajahwong masih perlu penyelesaian kompromi.

Ini antara ruang sempadan sungai, pemanfaatan air sungai untuk semua tidak tercemar, dan penyediaan sarana prasarana permukiman yang partisipatif agar bisa berkelanjutan dan potensi pendukung destinasi wisata."Permasalahan pembongkaran beberapa rumah yang tidak terdata untuk mundur minimal tiga meter dari talud sungai yang kemudian oleh program PTSL diberi atas hak menjadi penataan yang sinergi," katanya.

Dampak kegiatan tersebut lanjutnya, baik aksesibilitas, penyediaan sarana dasar warga dan ruang terbuka publik telah tersedia berdampak pada pengembangan perekonomian warga bantaran. "Penyadaran pentingnya sungai sebagai bagian dari kehidupan kita perlu didukung oleh semua pihak waalaupun kadang regulasi yang ada membatasi ruang gerak program," ulasnya.

Dalam kesempatan tersebut, Dekan FT, UCY Erlina menyampaikan, UCY sebagai perguruan tinggi perlu membekali wawasan mahasiswa dan masyarakat pentingnya penataan lingkungan yang baik seperti low carbon, eco green, eco building, eco energy dan eco lainnya yang akan bermanfaat bagi generasi penerus. "Ini penting diberikan kepada para mahasiswa dan pemangku kepentingan," pungkasnya.(Baca Juga: PKBH SAPA dan UCY Kupas Kekerasan saat Pacaran(nun)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.8873 seconds (0.1#10.140)