Mengenal Mansa Musa, Muslim Terkaya dalam Sejarah Dunia

Senin, 08 April 2019 - 12:45 WIB
Mengenal Mansa Musa, Muslim Terkaya dalam Sejarah Dunia
Musa Mansa, seorang Muslim penguasa Mali abad 14. Dia dikenal sebagai orang terkaya dalam sejarah. Foto/Daily Mirror
A A A
JAKARTA - Siapa orang terkaya dalam sejarah? Apakah pendiri Amazon, Jeff Bezos yang memiliki kekayaan sekitar USD131 miliar atau lebih dari Rp1.856,5 triliun? Ternyata bukan. Kekayaan Bezos yang saat ini tercatat sebagai orang terkaya di dunia, tidak ada apa-apanya dibanding orang ini.

Dia adalah Mansa Musa, seorang Muslim penguasa Mali abad 14. Dia terkenal di seluruh dunia karena kekayaannya yang menakjubkan dan pengeluaran yang tidak terkendali.

Kekayaan Musa terlalu besar untuk dibayangkan, atau pernah disamakan. Times menulis, "Penguasa Mali abad 14 lebih kaya daripada yang bisa digambarkan siapa pun."

Kekayaan Musa jauh lebih besar daripada orang terkaya kedua sepanjang masa, Kaisar Romawi Gaius Julius Caesar Augustus, yang diperkirakan mencapai USD4,6 triliun.

Para sejarawan mengatakan Musa begitu kaya, sehingga ketika dia memberikan sebagian dari emasnya kepada orang-orang miskin saat mengunjungi Kairo, emas yang masuk ke negara itu hampir menghancurkan ekonomi Mesir.

Tetapi pengeluarannya yang tak terkendali dan kemurahan hati yang terkenal pada akhirnya menyebabkan keruntuhan kerajaannya.

Rudolph Ware, professor sejarah di University of Michigan, menjelaskan; "Bayangkan sebanyak emas yang Anda pikir manusia bisa miliki dan gandakan, itulah yang semua coba dibicarakan. Ini adalah orang terkaya yang pernah dilihat siapa pun."

Musa menjadi penguasa Kekaisaran Mali di Afrika barat pada tahun 1312. Dia naik takhta setelah pendahulunya Abu-Bakr II hilang dalam perjalanan laut untuk menemukan tepi Samudra Atlantik.

Abu Bakar II dilaporkan melakukan ekspedisi dengan armada 2.000 kapal dan ribuan pria, wanita dan budak, dan tidak pernah kembali.

Musa mewarisi kerajaan yang ia tinggalkan, pada saat negara-negara Eropa sedang berjuang karena perang saudara dan kurangnya sumber daya.

Sebaliknya, Mali sarat dengan sumber daya alam yang menguntungkan, terutama emas. Di bawah pemerintahannya, kekaisaran yang sudah makmur tumbuh hingga tiga kali ukurannya, membentang 2.000 mil dari pantai Atlantik dan meliputi apa yang sekarang menjadi sembilan negara Afrika barat.

Dia juga mencaplok 24 kota, termasuk pusat perdagangan penting Timbuktu. Menurut British Museum, ketika kekaisaran itu tumbuh, demikian pula kekayaannya selama masa pemerintahannya, kekaisaran Mali menyumbang hampir setengah dari emas Old World.

Kathleen Bickford Berzock, yang merupakan ahli dalam seni Afrika di Block Museum of Art at the Northwestern University, mengatakan; "Sebagai penguasa, Mansa Musa memiliki akses yang hampir tak terbatas ke sumber kekayaan yang paling bernilai di dunia abad pertengahan."

"Pusat-pusat perdagangan utama yang berdagang emas dan barang-barang lainnya juga berada di wilayahnya, dan dia mengumpulkan kekayaan dari perdagangan ini," katanya, seperti dikutip Daily Mirror, Senin (8/4/2019).

Baru pada tahun 1324 dunia luar melihat kekayaan raja yang menakjubkan itu.

Musa tercatat sebagai seorang Muslim yang taat. Dia pernah melakukan perjalanan ke Makkah untuk naik haji, meninggalkan Mali dengan rombongan 60.000 orang.

Musa saat itu membawa seluruh pejabat pengadilan, para tentara, pelawak, pedagang, pengemudi unta dan 12.000 budak. Semuanya mengenakan sutra Persia terbaik dan mengenakan brokat emas.

Konvoi rumit yang menyertai Musa berbaris bersama unta dan kuda membawa ratusan pon emas, serta kereta panjang berisi kambing dan domba untuk makanan.

Ibn Khaldun, seorang sejarawan pada saat itu, mewawancarai salah satu teman perjalanan kaisar.

"Pada setiap pemberhentian, dia akan menghibur kita dengan makanan langka dan permen," kata Ibn Khaldun dalam tulisannya.

"Peralatan dan perabotannya dibawa oleh 12.000 wanita budak pribadi, mengenakan gaun brokat dan sutra Yaman," lanjut tulisan Ibn Khaldun.

Setibanya di Kairo, Musa memperlihatkan arogansinya ketika diundang untuk bertemu penguasa kota, al-Malik al-Nasir. Dia sempat menolak undangan, karena jika dia datang itu berarti dia harus mencium tanah dan tangan penguasa.

Selama berada di Kairo, Musa melanjutkan pembelanjaannya yang mewah dan membagikannya dengan murah hati. Dia membelanjakan emas untuk barang-barang dan memberikan hadiah emas pada orang miskin kota.

Meskipun berniat baik, kemurahan hatinya yang spontan benar-benar menurunkan nilai logam di Mesir dan ekonomi negara itu mendapat pukulan besar. Butuh 12 tahun bagi Mesir untuk pulih.

Perusahaan teknologi yang berbasis di AS, SmartAsset.com memperkirakan bahwa karena depresiasi emas, ziarah Mansa Musa menyebabkan kerugian ekonomi sekitar USD1,5 miliar di seluruh Timur Tengah.

Dalam perjalanan pulang ke rumah, Musa mencoba membantu ekonomi Mesir dengan membeli kembali sebagian emas yang telah dia berikan dengan tingkat bunga yang terlalu tinggi.

Ada kisah-kisah di mana dia memberikan begitu banyak emas sehingga dia kehabisan sebelum perjalanan berakhir. Hal itu menyebabkan kritik di antara rakyatnya bahwa dia telah menyia-nyiakan sumber daya yang bisa digunakan di dalam kerajaan.

Dalam perjalanan itu Musa juga memperoleh wilayah Gao di dalam kerajaan Songhai, yang berarti dia memperluas wilayahnya ke tepi selatan Gurun Sahara di sepanjang Sungai Niger.

Namun, penaklukan favoritnya adalah Timbuktu, yang menjadi El Dorado Afrika dan orang-orang datang dari dekat dan jauh untuk mengagumi bangunan dan jalan berlapis emas tersebut.

Bahkan pada abad 19, 500 tahun kemudian, situs itu masih memiliki status mitos sebagai kota emas yang hilang di ujung dunia, sebuah mercusuar bagi pemburu dan penjelajah kekayaan Eropa.

Mansa Musa juga dikenal karena membangun beberapa masjid paling rumit dalam sejarah, beberapa di antaranya masih berdiri sampai sekarang.

Dia kembali dari Makkah dengan beberapa cendekiawan Islam, termasuk keturunan langsung dari Nabi Muhammad, seorang penyair yang juga arsitek Andalusia bernama Abu Es Haq es Saheli. Dialah yang merancang masjid Djinguereber yang terkenal di Timbuktu.

Musa dilaporkan membayar penyair itu dengan 200 kg emas, yang dalam uang hari ini diperkirakan bernilai USD8,2 juta.

Musa juga mendanai literatur, membangun sekolah dan perpustakaan, menjadikan Timbuktu menjadi pusat pendidikan, tempat orang-orang bepergian dari seluruh dunia untuk belajar.

Setelah Mansa Musa meninggal pada 1337, dalam usia 57 tahun, kekaisaran diwarisi oleh putra-putranya yang tidak bisa menyatukan wilayah.

Negara bagian yang lebih kecil terputus dan kekaisaran runtuh. Namun ketenaran Mali sebagai tempat kekayaan yang luar biasa pada akhirnya menyebabkan keruntuhan dengan ketertarikan Portugis pada kerajaan itu akhirnya memuncak dalam serangan terhadap kekaisaran yang dimulai pada abad 15.

Mansa Musa, dan kekaisarannya yang mewah di Afrika, akhirnya hanya terbatas pada catatan sejarah.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 4.3605 seconds (0.1#10.140)