Begini Kronologi Tsunami di Selat Sunda Menurut BMKG

Senin, 31 Desember 2018 - 12:45 WIB
Begini Kronologi Tsunami di Selat Sunda Menurut BMKG
Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG mengungkap secara detail proses terjadinya tsunami Selat Sunda yang melanda pesisir pantai Banten dan Lampung. FOTO/DOK.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pusat Gempabumi dan Tsunami pada Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mengungkapkan secara detail proses terjadinya tsunami Selat Sunda yang menghantam pesisir Pandeglang, Banten dan Lampung Selatan, Sabtu (22/12/2018) malam.

Menurut Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono, pada Jumat (21/12/2018) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) telah mendeteksi adanya aktivitas erupsi Gunung Anak Krakatau Lampung, dengan tinggi kolom abu teramati kurang lebih 400 m di atas puncak dan 738 m di atas permukaan laut, kolom abu teramati berwarna hitam dengan intensitas tebal condong ke arah utara, dan pada saat itu Gunung Anak Krakatau berada pada status level II (waspada).

"Sebelumnya, kami telah memberikan peringatan dini gelombang tinggi yang berlaku tanggal 22 Desember 2018 pukul 07.00 WIB hingga tanggal 25 Desember 2018 pukul 07.00 WIB di wilayah perairan Selat Sunda dengan ketinggian 1,05-2,5 meter," ujar Rahmat, dalam keterangan tertulisnya, Senin (31/12/2018).

Kemudian pada Sabtu (22/12) pukul 20.56 WIB terjadi erupsi Gunung Anak Krakatau yang memicu longsor lereng Gunung Anak Krakatau seluas 64 Ha. Dan pada pukul 21.03 WIB tercatat di sensor seismograph BMKG di Cigeulis Pandeglang (CGJ) dan beberapa sensor di wilayah Banten serta Lampung. Namun sistem prosesing otomatis gempa BMKG tidak memproses secara otomatis karena signal getaran yang tercatat bukan merupakan signal gempa bumi tektonik.

"Sistem peringatan dini tsunami yang dimiliki oleh BMKG saat ini hanya untuk tsunami yang disebabkan gempa bumi tektonik, sedangkan tsunami yang melanda Selat Sunda adalah akibat aktivitas vulkanik sehingga saat ada aktivitas vulkanik di Gunung Anak Krakatau, sistem peringatan dini tsunami tidak mampu memproses secara otomatis adanya aktivitas vulkanik sehingga tidak memberikan WARNING tsunami," imbuh Rahmat.

Dikatakan, BMKG pun tidak melakukan monitoring aktivitas Gunung Krakatau dan gunung api lainnya. Monitoring ini dilakukan oleh pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi,Badan Geologi, Kementerian ESDM.

"Lalu pada pukul 21.30 WIB petugas Pusat Gempabumi dan Tsunami BMKG mendapat laporan kepanikan masyarakat di wilayah Banten dan Lampung karena air laut pasang yang tidak normal. BMKG langsung melakukan checking marigram Tide Gauge Badan Informasi Geospasial (BIG)," terangnya.

Dari hasil checking tersebut, terindikasi tercatat perubahan permukaan air laut di beberapa wilayah, seperti di Pantai Jambu, Bulakan, Kecamatan Cinangka, Serang, tercatat pukul 21.27 WIB ketinggian air mencapai 0.9 m, di Pelabuhan Ciwandan, Kecamatan Ciwandan Banten tercatat pukul 21.33 WIB dengan ketinggian 0.35 m; di Kota Agung, Kecamatan Kota Agung, Lampung, tercatat pukul 21.35 WIB dengan ketinggian 0.36 m, dan di Pelabuhan Panjang, Kecamatan Kota Bandar Lampung, tercatat pukul 21.53 WIB dengan ketinggian 0.28 m.

"Melihat dari hasil catatan marigran, tide gauge BIG tersebut diyakini bahwa ini merupakan gelombang tsunami. Selanjutnya pada pukul 22.30 WIB, BMKG segera mengeluarkan press release telah terjadi tsunami melanda Banten dan Lampung tidak dipicu oleh gempa bumi tektonik," sebutnya.

"Setelah itu, pada Sabtu (22/12) BMKG menyampaikan telah terjadi tsunami yang melanda Banten dan Lampung dan bukan disebabkan oleh gempa bumi tektonik, dan pada Minggu (23/12) pukul 14.40 WIB BMKG memastikan bahwa pusat getaran ada di Gunung Anak Krakatau, 115,46 BT- 6.10 LS, kedalaman 1 km. Getaran tersebut setara dengan kekuatan M. 3,4," pungkasnya.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 2.6762 seconds (0.1#10.140)