Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Jadi Kado Pahit Lebaran

Kamis, 14 Mei 2020 - 09:01 WIB
loading...
Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Jadi Kado Pahit Lebaran
Pemerintah secara tiba-tiba menaikkan iuran Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. FOTO/IST
A A A
JAKARTA - Beban rakyat Indonesia semakin berat di tengah pandemi COVID-19 yang belum terkendali. Pemerintah secara tiba-tiba menaikkan iuran Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan .

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan itu ditetapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020. Kenaikan akan dimulai untuk kelas I dan II terlebih dahulu, yakni pada Juli mendatang.

"Tentunya ini adalah untuk menjaga keberlanjutan dari BPJS Kesehatan ," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkap alasan kenaikan tersebut seusai rapat terbatas bersama Presiden Jokowi, Rabu (13/5/2020) kemarin.(Baca Juga: Talangi Rp30 M untuk Operasional RSUD, Bupati Wihaji Geram ke BPJS)

Menurut Airlangga, pemerintah tetap memberikan subsidi kepada peserta BPJS. Dalam Pasal 29 perpres tersebut, pemerintah menanggung iuran bagi peserta penerima bantuan iuran. Pada Pasal 34, pemerintah akan menanggung iuran kelas III pada 2020 sebesar Rp16.500 per orang per bulan, dari yang seharusnya Rp25.500 per orang per bulan. Pada 2021 iuran kelas III naik menjadi Rp35.000 per orang per bulan, di mana Rp7.000 di antaranya ditanggung pemerintah pusat atau daerah.

Kebijakan ini disesalkan oleh sejumlah kalangan. Mereka menilai, pemberlakuan kenaikan mulai Juli mendatang untuk kelas I dan II dan awal 2021 untuk kelas III itu menunjukkan pemerintah kurang peka dengan situasi yang dialami rakyat. Di tengah kesulitan keuangan yang dihadapi BPJS, pemerintah semestinya melakukan evaluasi komprehensif tanpa buru-buru membebankan masalahnya ke rakyat.

Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar menyatakan, kenaikan iuran BPJS Kesehatan sangat memberatkan masyarakat. "Pemerintah tidak memiliki kepekaan sosial terhadap rakyat peserta mandiri," katanya dalam keterangan tertulisnya.(Baca Juga: Iuran BPJS Dinaikkan, Lukai Rakyat)

Dengan kebijakan baru ini, putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebelumnya hanya berlaku tiga bulan, yaitu April, Mei, dan Juni 2020. Di tengah pandemi yang berdampak luas terhadap kondisi perekonomian warga, menurutnya, masih banyak cara untuk mengatasi defisit keuangan yang kini mendera BPJS. "Jangan lantas menaikkan iuran apalagi di tengah resesi ekonomi saat ini," ungkapnya.

Timboel mengungkapkan, peserta mandiri adalah kelompok masyarakat pekerja informal yang sangat terdampak ekonominya karena COVID-19. Dia pun meminta Presiden Jokowi untuk melakukan evaluasi kepada seluruh jajarannya yang terkait Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). "Terutama evaluasi kinerja Direksi BPJS Kesehatan," katanya.

Dia memaparkan, pada Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) BPJS Kesehatan Periode 2020, pos penerimaan ditargetkan Rp137 triliun. Tetapi, karena ada putusan MA, maka direvisi sehingga jadi Rp132 triliun. Pemerintah pun sudah menambah Rp3 triliun bagian dari Rp75 triliun yang dialokasikan APBN untuk COVID-19. Dengan demikian, penerimaan menjadi Rp135 triliun. Penerimaan BPJS ini masih ditambah pendapatan dari pajak rokok yang bisa mencapai Rp5 triliun jika pemerintah daerah membayar pajak rokok ke BPJS Kesehatan sesuai Pasal 99 dan 100 Perpres No 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Anggota Komisi IX DPR lainnya, Netty Prasetyani juga menganggap pemerintah tidak memiliki kepekaan terhadap suasana kebatinan dan ekonomi masyarakat yang terpukul akibat pandemi COVID-19. "Menurut beberapa pakar, kondisi ekonomi kita akan terganggu hingga akhir tahun, bahkan awal tahun depan. Maka kebijakan kenaikan ini sangat mencederai kemanusiaan," ungkap Netty.

Menurut Netty, kenaikan iuran BPJS pun menjadi kado Lebaran yang buruk bagi masyarakat yang akan merayakan dalam beberapa hari lagi. Dia menilai masyarakat sudah gusar dengan banyaknya beban kehidupan yang ditanggung oleh rakyat.

"Seharusnya pemerintah melaksanakan putusan MA yang membatalkan sebagian Perpres 75/2019 ini secara sungguh-sungguh karena putusan ini mengikat. Jangan malah bermain-main dan mengakali hukum dengan menerbitkan Perpres 64/2020,” tandasnya.

Namun, Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma'ruf menilai penerbitan Perpres No 64/2020 ini justru menunjukkan bahwa pemerintah telah menjalankan putusan MA. "Perlu diketahui juga, perpres yang baru ini juga telah memenuhi aspirasi masyarakat seperti yang disampaikan wakil-wakil rakyat di DPR untuk memberikan bantuan iuran bagi peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja kelas III," terang Iqbal dalam keterangan tertulisnya.
(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1266 seconds (0.1#10.140)