RUU Permusikan Resmi Ditarik dari Badan Legislasi DPR

Jum'at, 08 Maret 2019 - 13:46 WIB
RUU Permusikan Resmi Ditarik dari Badan Legislasi DPR
Anggota Komisi X DPR RI Anang Hermansyah secara resmi menarik usulan RUU Permusikan di Baleg DPR RI setelah mempertimbangkan banyak hal. FOTO/DOK.SINDOphoto
A A A
JAKARTA - Musisi yang juga Anggota Komisi X DPR RI Anang Hermasyah resmi menarik usulan Rancangan Undang-Undang (RUU) Permusikan dari Badan Legislasi (Baleg) DPR. Masukan dan saran materi draft RUU Permusikan serta rencana musyawarah besar komunitas musik menjadi alasan Anang penarikan usulan tersebut.

Menurut Anang, keputusan penarikan usulan RUU Permusikan sebagai tindaklanjut dari masukan dan tanggapan dari seluruh stakeholder ekosistem musik di tanah air. "Agar terjadi kondusivitas di seluruh stakeholder ekosistem musik di Indonesia," ujar Anang di Jakarta, Kamis (7/3/2019).

Anang tidak menampik bila RUU Permusikan telah menimbulkan polemik khususnya di ekosistem musik di Indonesia. Dia mengatakan, dari seluruh aspirasi yang masuk, ada yang setuju dengan revisi draft materi RUU Permusikan ada pula yang menolak seluruh materi RUU Permusikan.

"Saya sebagai wakil rakyat yang berasal dari ekosistem musik, wajib hukumnya menindaklanjuti aspirasi dari stakeholder. Sama halnya saat mengusulkan RUU Permusikan juga berpijak pada aspirasi dan masukan dari stakeholder. Ini proses konstitusional yang lazim dan biasa saja," ucap Anang dalam keterangan pers yang diterima SINDOnews.

Anang berharap situasi di ekosistem musik kembali kondusif dan dapat berembuk dengan kepala dingin atas persoalan yang muncul di ekosistem musik di Indonesia. Musisi asal Jember ini pun berharap, penyelenggaraan musyarawarah besar (mubes) dapat dilakukan dalam waktu tak lama setelah pelaksanaan Pemilu 2019. "Mubes baiknya dilaksanakan setelah Pemilu. Kita berembuk bersama, kita beber persoalan yang ada di sektor musik dan bagaimana jalan keluarnya," ujar Anang.

Anang menuturkan tantangan di industri musik di Indonesia dari waktu ke waktu semakin kompleks. Pikiran dan pandangan dari ekosistem musik cukup penting untuk merumuskan peta jalan atas tantangan-tantangan yang muncul. "Seperti konstruksi hukum di sektor musik kita masih 2.0, padahal saat ini eranya sudah 4.0. Di Amerika, pada 11 Oktober 2018 lalu baru disahkan Music Modernization Act (MMA), regulasi terkait dengan hak cipta untuk rekaman audio melalui teknologi berupa streaming digital. Bagaimana dengan kita di Indonesia?” tutur Anang.

Kaitannya dengan hal tersebut, Anang menyebutkan persoalan pajak di sektor musik yang saat ini banyak memanfaatkan medium digital seperti YouTube dan Facebook belum ada pengaturan mengenai hal tersebut. Anang juga menyoroti urgensi keberadaan data besar (big data) untuk memuat seluruh direktori musik di Indonesia. Keberadaan UU Serah Simpan Karya Rekam Karya Cetak (SSKRKC) yang mengamanatkan seluruh karya rekam diserahkan ke perpustakaan nasional, menurut Anang masih menimbulkan pertanyaan.

"Pertanyaannya, apakah seluruh lagu di Indonesia didata oleh perpustakaan nasional? Apakah hal tersebut telah menjawab kebutuhan di sektor musik," kata dia.

Vokalis Kidnap ini juga menyinggung soal pendidikan musik yang diselenggarakan oleh pemerintah dan swasta. Menurut dia, kurikulum pendidikan musik apakah telah selaras dengan kurikulum vokasi di Indonesia. "Pendidikan musik tak populer di masyarakat, pertanyaannya apakah sekolah musik sudah selaras dengan pendidikan vokasi di Indonesia," kata Anang.

Pada tahun 2016, Anang menuturkan Bekraf menyebut terdapat 33.482 badan usaha musik di Indonesia yang mengungkapkan standar pendapatan minimum pelaku musik sebesar 3 juta lebih. "Pertanyaannya apakah angka tersebut terkait dengan eksistensi profesi musisi? Meski kalau dilihat data Bekraf tahun 2016, kontribusi sektor musik ke Produk Domestik Bruto (PDB) hanya 0,48%," papar Anang.

Namun, di subsektor lainnya yakni kuliner dan televisi yang merupakan penyumbang terbesar PDB banyak memanfaatkan sektor musik. Sayang, sektor ini tidak terefleksikan dari kontribusi PDB dari sektor musik. “Ada disparitas tajam antara subsektor televisi dan radio (8,27%) dan kuliner (41,40%) dengan subsektor musik. Padahal televisi-radio dan kuliner memanfaatkan instrumen musik,” kata Anang.

Di bagian lainnya Anang juga menyinggung soal tak lama lagu pelaksanaan ibadah puasa di bulan Ramadhan pada awal Mei mendatang. Menurut dia, momentum Ramadhan biasanya banyak pihak yang mengurangi jam pertunjukan musik karena dalam rangka menghormati ibadah puasa. “Pertanyaannya bagaimana pendapatan para pelaku musik yang di beberapa daerah kafe tidak boleh beroperasi,” kata Anang.

Sebagian persoalan tersebut harus dijawab secara bersama-sama oleh ekosistem musik dengan musyawarah dan membuka semua persoalan di atas meja besar. Persoalan tersebut pada akhirnya juga tak bisa dilepaskan dari peran negara untuk turut serta menyelesaikan bersama-sama eksistem musik di tanah air. “Pada akhirnya berbagai persoalan tersebut erat kaitannya dengan politik hukum pemerintah dalam memposisikan musik dalam bentuk kebijakan hukum,” ujar Anang.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.7979 seconds (0.1#10.140)