Mukhtasar Syamsuddin Dikukuhkan Jadi Guru Besar Filsafat UGM

Rabu, 06 Maret 2019 - 23:48 WIB
Mukhtasar Syamsuddin Dikukuhkan Jadi Guru Besar Filsafat UGM
Prof Drs M Mukhtasar Syamsuddin M.Hum Ph.D of Arts dikukuhkan sebagai guru besar Fakultas Filsafat UGM. FOTO/Humas UGM
A A A
YOGYAKARTA - Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta kembali mengukuhkan guru besar. Kali ini Prof Drs M Mukhtasar Syamsuddin M.Hum Ph.D of Arts dikukuhkan sebagai guru besar Fakultas Filsafat UGM.

Dalam pidato pengukuhan yang digelar di Balai Senat UGM Rabu (6/3/2019), Mukhtasar menjelaskan Konsep Fundamental Kecerdasan Buatan (artificial intelligence) dalam Kritik Filsafat Timur. Dalam paparannya dia menyampaikan berbagai kajian filsafat timur dalam merespon kehadiran teknologi kecerdasan buatan.

"Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) bagian dari penanda revolusi digital dan penanda tersebut secara ektensif membingkai pola pikir dan perilaku manusia pada era revolusi industri 4.0. Namun demikian, kecerdasan buatan juga membawa persoalan filosofis yang perlu dikaji dan diselesaikan oleh bidang ilmu filsafat, sebab kecerdasan buatan berusaha memodelkan proses berpikir manusia dan mendesain mesin agar dapat menirukan perilaku manusia,"ungkapnya saat pidato pengukuhan.

Dijelaskannya, kemunculan tren terbaru teknologi canggih revolusi industri 4.0, ditandai dengan revolusi digital melalui artificial intelligence, e-commerce, big data, dan fintech. Namun salah satu komponen terbesar teknologi ini adalah mesin canggih.

Teknologi AI, kata Mukhtasar, terus dikembangkan melaui sistem cerdas seperti soft computing yaitu sebuah sistem yang memilah keahlian seperti manusia pada domain tertentu namun beradapatasi dan belajar agar dapat bekerja lebih baik jika terjadi perubaha lingkungan.

Berdasarkan kemamuan dan cara kerja tersebut, soft computing dapat mengeksploitasi adanya toleransi terhadap ketidaktepatan, ketidakpastian, dan kebenaran parsial sehingga masalah dapat diselesaikan dan dikemndalikan dengan mudah. "Jika AI secara fundamental dikonsepsikan sebagai kemampuan berpikir cerdas, maka timbul pertanyaan apakah mesin dapat berpikir cerdas seperti kecerdasan yang dimiliki manusia," lanjutnya.

Menurut Mukhtasar, kecerdasan buatan tidak akan pernah bisa menyamai kemampuan manusia dalam memahami konteks, situasi atau tujuan secara teratur. Ini karena kecerdasan dan keahlian manusia bergantung terutama pada insting tidak sadar. Pikiran manusia dan proses pemikirannya merupakan fenomena non reduksionis. Sementara komputer di sisi lain beroperasi menggunakan program reduksi manipulasi simbolik.

"Dalam pemikiran filsafat timur, sudah dilakukan berbagai kajian soal kecerdasan buatan ini. Bagi Buddhisme, AI tidak memiliki cipta atau memahami penciptaan pikiran dari entitas non-materi sehingga AI dianggap tidak dapat berpikir," terang Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) DIY ini.

Dalam tradisi Taoisme, lanjut Mukhtasar, orang cerdas akan mampu merespon situasi secara berbeda dan tindakannya tidak bergantung pada standar subjektif. Tetapi pada situasi objektif karena orang cerdas mampu menyesuaikan diri dengan tubuh yang bergerak.

Sebaliknya Mukhtasar menjelaskan, tradisi konfusianisme, kecerdasan akan dikaitkan dengan kemampuan untuk membuat penilaian moral yang benar. Dengan demikian, kecerdasan sangat menentukan seseorang dalam menilai perilaku benar dan salah.

"Begitu juga dengan kajian filsafat Pancasila yang memerlukan pemikiran strategis untuk dikembangkan dalam merespon perkembangan dan dampak yang ditimbulkan teknologi AI melalui indigenisasi tata nilai kehidupan bangsa yang bertopang pada lima nilai universal Pancasila," terang lulusan Hankuk University of Foreign Studies Korea ini.

Dalam pidato tersebut dia juga menyampaikan strategi masyarakat sebagai warga negara dalam merespon AI harus diikat oleh etika sosial yang berbasis pada nilai filsafat Pancasila. "Dalam konteks civil society langkah strategis yang diperlukan lainnya adalah menanamkan dan menghidupkan kembali nilai-nilai etika sosial melalui proses pendidikan di tengah kehidupan masyarakat terutama pada wilayah organisasi masyarakat tingkat mikro yakni wilayah pedesaan," terangnya.

Sementara itu Dekan Fakultas Filsafat UGM, Dr Arqom Kuswanjo menyebut saat ini di Fakultas Filsafat UGM terdapat tiga guru besar dan satu guru besar emeritus. Dengan dikukuhkannya Prof Mukhtasyar Syamsuddin sebagai guru besar diharapkan mampu memperkuat fakultas filsafat UGM. "Semoga Pak Mukhtasar bisa mengemban amanah sebagai guru besar fakultas filsafat," ujarnya.
(nun)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.8859 seconds (0.1#10.140)