Begini Hukum Tidak Salat Jumat Tiga Kali di Tengah Wabah Corona

Jum'at, 03 April 2020 - 09:31 WIB
Begini Hukum Tidak Salat Jumat Tiga Kali di Tengah Wabah Corona
Sekretaris Fatwa MUI, Asrorum Niam Sholeh mengakui banyak pertayaan yang muncul di masyakarat khususnya umat Islam tentang hukum tidak salat Jumat tiga kali berturut-turut. Foto/SINDOphoto
A A A
JAKARTA - Wabah Corona membuat banyak masjid tidak menggelar salat Jumat demi alasan keselamatan jamaah.

Sekretaris Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Asrorum Niam Sholeh mengakui banyak pertayaan yang muncul di masyakarat khususnya umat Islam tentang hukum tidak salat Jumat tiga kali berturut-turut. Mengingat ada hadis yang menyatakan tidak salat Jumat tiga kali dihukumi kafir.

Sebelumnya, MUI telah mengeluarkan fatwa bahwa seseorang yang berada di kawasan yang potensi penularannya tinggi atau sangat tinggi, salat Jumat bisa diganti dengan salat zuhur di rumah. Sementara, warga DKI dan di wilayah lain mungkin setelah kasus pandemi COVID-19 sudah tidak salat selama dua kali dan tiga kali jika hari ini tetap tidak salat Jumat, bagaimana hukumnya.

Niam menjelaskan ada tiga jenis orang yang meninggalkan salat Jumat. Pertama, katanya, orang yang tidak salat Jumat karena ingkar akan kewajiban Jumat maka dia dihukumi sebagai 'kafir'. Kedua, lanjut dia, orang Islam yang tidak salat Jumat karena malas.

Dia meyakini kewajiban Jumat, tapi dia tidak salat Jumat karena kemalasan dan tanpa adanya 'uzur syar'i' maka dia berdosa atau "ashin" atau melakukan maksiat. Jika tidak Jumatan tiga kali berturut tanpa uzur (halangan) maka Allah mengunci mati hatinya.

"Ketiga adalah orang Islam yang tidak Jumatan karena ada uzur syar'i, maka ini dibolehkan," tutur Niam kepada wartawan, Jumat (3/4/2020).

Lebih lanjut Niam menjelaskan, menurut pandangan para ulama fikih, uzur syar'i tidak salat Jumat antara lain sakit. Ketika sakitnya lebih dari 3 kali Jumat, dia tidak salat Jumat tiga kali berturut-turut pun tidak berdosa.

Uzur syar'i berikutnya adalah kekhawatiran terjadinya sakit. "Nah, dalam kondisi ketika berkumpul dan berkerumun itu diduga kuat akan terkena wabah atau menularkan penyakit, maka ini menjadi uzur untuk tidak Jumatan (salat Jumat)," tutur Niam.

Selain itu, kata Niam, ada beberapa udzur syar'i lain yang dibolehkan meninggalkan Jumat, di antaranya hujan deras yang menghalangi menuju masjid juga karena adanya kekhawatiran akan keselamatan diri, keluarga, atau hartanya.

"Hingga kini, wabah COVID-19 masih belum bisa dikendalikan dan diatasi. Potensi penularan dan penyebarannya masih tinggi. Dengan demikian, uzdur syar'i yang menyebabkan tidak dilaksanakannya perkumpulan untuk ibadah seperti salat Jumat masih ada," jelasnya.

Niam yang juga Dosen pascasarjana Syariah dan Hukum UIN Jakarta ini juga memberikan pandangan dalam beberapa kitab seperti 'Asna al-Mathalib' yang menyebutkan:

Al-Qadli 'Iyadl menukil pandangan para Ulama bahwa orang yang terjangkit wabah lepra dan penyakit menular lainnya dicegah untuk ke masjid dan salat Jumat, juga bercampur dengan orang-orang (yang sehat).

Lalu ada juga dalam kitab al-Inshaf yang menyebutkan:

"Uzur yang dibolehkan meninggalkan salat Jumat dan jamaah adalah orang yang sakit tanpa ada perbedaan di kalangan Ulama. Termasuk udzur juga yang dibolehkan meninggalkan salat Jumat dan jamaah adalah karena takut terkena penyakit".

Menurut Niam, dua kondisi di atas menjadi udzur untuk tidak Jumatan. "Orang yang sakit, khawatir akan sakitnya dan khawatir menularkan penyakit ke orang lain, serta orang yang khawatir tertular penyakit. Selama masih ada udzur, maka dia masih tetap boleh tidak Jumatan. Dan baginya tidak dosa. Kewajibannya adalah mengganti dengan salat zhuhur," pungkasnya.
(nun)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 2.5074 seconds (0.1#10.140)