Butuh Aturan Hukum untuk Menjamin Stabilitas Dunia Kerja

Minggu, 22 Maret 2020 - 18:34 WIB
Butuh Aturan Hukum untuk Menjamin Stabilitas Dunia Kerja
Ali Fakhrudin berfoto bersama para penguji dan keluarga seusai lulus berpredikat cumlaude Program Doktor Ilmu Hukum Unissula. FOTO : Istimewa
A A A
SEMARANG - Dinamika dunia tenaga kerja di Indonesia saat ini masih banyak ketimpangan. Sejarah hubungan industrial hingga kini masih memunculkan berbagai persoalan.

Menurut Kepala Sub-bagian TU Sekjen Kementerian Agama RI, Ali Fakrudin, meski sudah banyak aturan hukum, Undang-Undang Nomor 13/2003, Undang-UndangNomor 2/2004, dan berbagai peraturan lainnya, namun praktinya masih banyak ketimpangan. Kaum buruh masih banyak mempertanyakan kesejahteraan hidupnya.

Karena itu, dia menawarkan alternatif tentang perlunya aturan hukum yang dapat menjamin keberlangsungan dan stabilitas dunia kerja, yang mengatur mekanisme kerja, hak dan kewajiban si pemilik modal (pengusaha) dan tenaga kerja.

“Aturan yang sesuai dengan konteks sosial-budaya masyarakat. Sebab hukum merupakan wujud nyata dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat pada masa tertentu. (Soekanto, 2004),” kata Ali dalam siaran pers, Minggu (22/3/2020).

Doktor dalam bidang Hukum dari Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Unissula Semarang itu menuturkan bahwa Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, meskipun Islam tidak menjadi dasar negara, tetapi Islam telah dan akan tetap menjadi ruh yang menjiwai setiap pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara. “Maka persoalan keadilan dalam dunia kerja di Indonesia, tentu tidak bisa lepas dari kacamata hukum Islam,” ujarnya.

Lalu kenapa berbagai persoalan dunia kerja masih dirasakan timpang oleh para tenaga kerja? Ali Fakhrudin menegaskan bahwa persoalan ketimpangan dalam implementasi sistem hukum ketenagakerjaan di Indonesia disebabkan oleh banyak hal.

“Mulai dari minimnya skill tenaga kerja, bonus demografi, miss-matchpenempatan kerja, kemajuan teknologi, tenaga kerja asing, dan persaingan global (globalisasi),” ungkap pria kelahiran Rembang 27 September 1975 ini.

Dia menambahkan, ketimpangan juga dipengaruhi relasi kerja yang terbangun masih kental nuansa feodalistik-dominatifnya dan buruh masih sebatas dianggap sebagai "alat produksi".

“Buruh sendiri masih banyak berorientasi pada pemenuhan kebutuhan fisik, sementara pengusaha lebih mengutamakan target produksi. Sedangkan political will dari pemerintah masih kurang optimal,” paparnya.

Untuk itu, diperlukan upaya pengembangan sistem hukum Islam guna menyikapi persoalan ketimpangan dalam sistem ketenagakerjaan di Indonesia.

“Caranya ya dengan mengkontekstualisasikan hukum Islam dengan kondisi sosial masyarakat. Namun harus diperjelas bahwa yang pengembangan di sini, bukanlah pemberlakukan hukum Islam secara legal formal, tetapi implementasi nilai dan misi universial dari hukum Islam yaitu keadilan dan kebenaran. Yakni dengan memasukkan sisi spiritualitas kerja sebagai bagian dari ibadah,” ujar mantan Penyuluh Agama Islam di Kemenag Rembang ini.
(nun)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 2.5488 seconds (0.1#10.140)