PWS Yogya Sosialisasikan Politik Transaksional kepada Masyarakat

Sabtu, 23 Februari 2019 - 22:00 WIB
PWS Yogya Sosialisasikan Politik Transaksional kepada Masyarakat
Paguyuban Wartawan Sepuh (PWS) Yogyakarta menggelar diskusi kembangsaan dengan tema ‘Demokrasi dalam Politik Transaksional’ di Resto Cangkir, Bintaran, Yogyakarta, Sabtu (23/2/2019). FOTO/SINDOnews/PRIYO SETYAWAN
A A A
YOGYAKARTA - Paguyuban Wartawan Sepuh (PWS) Yogyakarta menggelar Diskusi Kebangsaan, dengan tema Demokrasi dalam Politik Transaksional kepada masyarakat di Resto Cangkir, Bintaran, Yogyakarta, Sabtu (23/2/2019). Selain sebagai agenda rutin bulanan, kegiatan ini juga untuk memberikan pemahaman tentang politik
transaksional kepada kaum milenial.

Tiga pembicara dihadirkan dalam acara tersebut, yaitu anggota DPR Idham Samawi; Ketua Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia Yogyakarta Mohammad Najib; dan Wakil Dekan II Fakultas Saintek UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Hamdan Daulay.

Sekretaris PWS Yogyakarta Sugeng Wiyono mengatakan diskusi kebangsaan ini bukan hanya sebagai seremonial dan rutinitas, tapi lebih dari itu, ini merupakan sikap kritis sekaligus bentuk kepedulian PWS Yogyakarta terhadap situasi bangsa. Utamanya tentang nasionalisme dan pemahaman tentang Pancasila serta situasi politik menjelang Pemilu.

"Ini penting sebab sekarang rasa nasionalisme mulai tergerus dan menipisnya pemahanan terhadap Pancasila. Sehingga diharapkan dengan langkah ini bukan hanya persatuan dan kesatuan dalam bingkai NKRI dan Bhineka Tunggal Ika makin kuat, tapi juga pencerahan dalam memahami demokrasi," kata Sugen Wiyono di sela-sela acara tersebut.

Idham Samawi dalam pemaparannya mengatakan perlu pemahaman dan persepsi yang sama soal politik transaksional dalam demokrasi. Sebab saat ini demokrasi identik dengan alat untuk mencapai kekuasaan yang dianggap ideal. Namun, dalam praktiknya, untuk mencapai kekuasaan itu diselipi politik transaksional.

Padahal demokrasi merupakan alat untuk mencapai tujuan, meskipun dalam perjalanan tujuan itu tidak sampai. Sehingga harus mengoreksi alatnya karena demokrasi bisa berada dalam politik transaksional.

"Ini penting sebab demokrasi kita ini demokrasi sing ora cetho, bahkan lebih liberal daripada Amerika ketika urusan pemilu. Menurut saya ada yang salah," katanya.

Sementara, Hamdan Daulay mengatakan karakter demokrasi, yaitu semua punya hak setara untuk memilih. Namun masih adanya politisi yang melakukan politik transaksional atau istilahnya politik dagang sapi, ada yang memberi dan menerima dengan lebih mementingkan kelompoknya.

"Politisi yang menggunakan politik transaksional merugikan kepentingan keadilan sosial rakyat. Identik dengan politik yang kolutif, tidak kompetitif," katanya.

Ia mengatakan antara penguasa dengan masyarakat sipil sudah berkolusi akan mengikis daya kritis dan kontrol sosial. "Tidak berani mengatakan yang benar adalah benar, yang salah adalah salah," katanya.

Hamdan pun menyebut politik transaksional akan menghalalkan segala cara sehingga muncul ujaran kebencian, hoaks, fitnah dan media massa tidak bisa netral karena mementingkan kepentingan kelompok.

Sementara, Mohammad Najib mengatakan, demokrasi itu praktiknya seringkali mengecewakan karena hal-hal yang tidak sesuai dengan konsep idealnya. Dari hulu sampai hilir, demokrasi sarat dengan praktik money politics.

"Money politics ini sebagai upaya memengaruhi orang lain dengan imbalan materi, misal membujuk dengan uang bukan dengan cara keyakinan," katanya.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.2687 seconds (0.1#10.140)