Undip Usulkan Bupati dan Wali Kota Minimal Sarjana

Selasa, 03 Maret 2020 - 07:45 WIB
Undip Usulkan Bupati dan Wali Kota Minimal Sarjana
Wakil Rektor I Undip, Prof Budi Setiyono mengusulkan bupati dan wali kota setidaknya memiliki jenjang pendidikan minimal sarjana (S1). FOTO/iNews/TAUFIK BUDI
A A A
SEMARANG - Wakil Rektor I Universitas Diponegoro (Undip), Prof Budi Setiyono mengusulkan bupati dan wali kota setidaknya memiliki jenjang pendidikan minimal sarjana (S1). Kemampuan akademik yang baik akan membuat kepala daerah bisa cakap dalam mencari solusi atas permasalahan di wilayahnya.

"Tingkat bupati/wali kota, pendidikan ideal paling tidak dia minimal S1, dan dilengkapi oleh sertifikasi-sertifikasi yang menunjang tugas dia sebagai kepala daerah atau wali kota atau bupati," kata Budi di Semarang, Senin (2/3/2020).

Dia menjelaskan, kepala daerah memiliki peranan penting dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan lokal di tempatnya. Selain memiliki kemampuan akademik minimal S1, mestinya juga dibekali pengalaman-pengalaman dan kompetensi sebagai seorang pemimpin. "Ini yang mestinya terus kita wacanakan. Kompetensi ini termasuk jenjang pendidikan, pelatihan, pengalaman empirik dia memimpin," katanya.

"Jadi misalnya menjadi seorang bupati wali kota kalau dia tidak pernah menduduki jabatan tidak pernah melakukan pekerjaan empirik pada tugas-tugas yang nantinya dia akan lakukan, termasuk membuat perencanaan teknis, pengoperasian kebijakan, khususnya tata kelola anggaran, sehingga akan berbahaya bagi kepentingan masyarakat," katanya.

Selain itu, dia mengusulkan kepala daerah di tingkat II tak dilakukan melalui mekanisme pemilihan langsung. Sebab, pilkada langsung dinilai kerap menimbulkan ketidakpastian bagi birokrat untuk bertindak bekerja secara profesional. Mereka akan terseret di dalam kepentingan politik selama masa pilkada atau paling tidak lima tahun sekali.

"(Kepala daerah) secara teknis mengurusi tentang sampah, kesehatan dasar, sanitasi, transportasi lokal, dan seterusnya yang itu sebenarnya dari sudut ideologi manapun cara tata kelolanya standardisasinya sama. Sehingga kalau kita bicara yang namanya pemilihan langsung itu kan wujud kedaulatan yang bersifat direct (langsung) dari rakyat untuk menentukan pemimpin yang secara ideologi, lha itu sebenarnya tidak tepat," katanya.

Menurutnya, pemilihan langsung lebih baik hanya dilakukan untuk memilih pemimpin di tingkat provinsi dan pusat. Oleh karenanya, dia mengamini pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian yang menyampaikan perlu evaluasi pilkada langsung.

"Sehingga benar wacana yang dikemukakan oleh Mendagri bahwa yang namanya pemilihan langsung, terutama untuk eksekutif itu sebaiknya hanya di level pusat dan provinsi tidak di level kabupaten/kota. Sebab di kabupaten/kota itu kalau terus-menerus melakukan pemilihan secara langsung di samping sebenarnya itu redundansi tidak diperlukan, secara teknis itu sangat jauh dari gesekan ideologis," katanya.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.1501 seconds (0.1#10.140)