Susur Sungai Sleman, Siswa Perlu Dibekali Pendidikan Mitigasi Bencana

Minggu, 01 Maret 2020 - 21:45 WIB
Susur Sungai Sleman, Siswa Perlu Dibekali Pendidikan Mitigasi Bencana
Peristiwa hanyutnya sejumlah siswa SMPN 1 Turi, Sleman menjadi salah satu tanda bahwa pengetahuan mitigasi bencana di bangku sekolah perlu diperkuat. FOTO/ISTIMEWA
A A A
SOLO - Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Suryanto menyatakan pentingnya pendidikan mitigasi bencana bagi siswa sekolah. Peristiwa hanyutnya sejumlah siswa SMPN 1 Turi, Sleman menjadi salah satu tanda bahwa pengetahuan mitigasi bencana di bangku sekolah perlu diperkuat.

"Kejadian yang dialami siswa-siswi SMPN 1 Turi, Sleman saat mengikuti kegiatan Pramuka menjadi duka yang mendalam bagi kita bersama," kata Suryanto, Minggu (1/3/2020).

Mengambil pelajaran dari peristiwa itu, pihak sekolah perlu membekali murid-muridnya dengan pengetahuan mitigasi bencana yang baik. Selain pengetahuan mitigasi, juga perlu menegakkan standard operating procedure (SOP), terutama kegiatan outing class demi keamanan bersama. (Baca Juga: 10 Korban Berhasil Ditemukan, Operasi Pencarian Dihentikan)

Dalam pandangannya, pengetahuan mitigasi bencana di bangku sekolah masih rendah. "Pengetahuan mitigasi bencana rendah dimungkinkan karena pemahaman bencana direduksi hanya ketika terjadi bencana. Sementara, mitigasi bencana sejatinya mencakup pengetahuan komprehensif sejak sebelum, saat, dan pascabencana," katanya.

Para siswa perlu dibekali pengetahuan bagaimana mengidentifikasi tentang bahaya, kerentanan, dan kapasitas agar bisa mengukur risiko.

Ia mengingatkan pendidikan mitigasi bencana dapat dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah. Sehingga, siswa-siswi dapat membekali dirinya dengan persiapan yang matang dan mengenal resiko saat bencana datang. "Inilah pentingnya mengapa pendidikan mitigasi dimasukkan dalam kurikulum. Sekolah wajib untuk memasukkan kurikulum mitigasi, salah satunya karena siswa harus mulai dikenalkan risiko-risiko bencana," katanya.

Dengan mengenal dan memahami risiko bencana, siswa dapat memiliki pengetahuan terkait bagaimana mengurangi risiko yang bakal menimpa mereka. Ia menyarankan agar di dalam sekolah, siswa diajak untuk berpikir spatial thinking. Yakni cara berpikir yang mengandalkan kesadaran ruang/keruangan. Dengan spatial thinking siswa diharapkan memiliki orientasi arah yang lebih baik.

"Dengan spatial thinking, dapat memahami di mana kita berada, memahami di mana hulu, di mana hilir," katanya.

Pengambilan keputusan menggunakan spatial thinking, misalnya apabila ada hujan, maka mengetahui ke mana air akan mengalir. Selain itu juga memahami mengapa debit air dapat meningkat secara tiba-tiba meski di tempat tersebut tidak hujan sama sekali. "Contoh lain, ketika terdapat gempa bumi maka masyarakat mengetahui apakah akan diikuti oleh tsunami atau tidak," katanya.

Cara berpikir secara spatial thinking telah dibiasakan kepada siswa-siswi di Amerika Serikat. Sejak tahun 2012. Spatial thinking sebagai bagian dalam kurikum pendidikan. "Berdasar itulah, kurikulum pendidikan di Amerika Serikat memasukkan spatial thinking sebagai bagian dalam kurikum standar mereka sejak tahun 2012. Tidak ada salahnya kita juga memasukkan pendidikan mitigasi dalam kurikulum kita," katanya.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 5.9968 seconds (0.1#10.140)