BEI Dorong Masyarakat Jawa Tengah Membeli Obligasi

Jum'at, 28 Februari 2020 - 12:00 WIB
BEI Dorong Masyarakat Jawa Tengah Membeli Obligasi
Kepala Kantor BEI Jawa Tengah 2 M Wira Adibrata. Foto/SINDOnews/Ary Wahyu Wibowo
A A A
SOLO - Kantor Bursa Efek Indonesia (BEI) Jawa Tengah (Jateng) 2 mendorong masyarakat membeli obligasi. Salah satu instrumen investasi di pasar modal tersebut dapat menjadi alternatif ketika pasar tengah lesu.

Kepala Kantor BEI Jawa Tengah 2, M Wira Adibrata mengatakan, berbeda dengan saham yang merupakan bukti kepemilikan sebuah perusahaan, obligasi merupakan surat utang jangka menengah-panjang yang dapat dipindahtangankan.

"Berisi janji dari pihak yang menerbitkan (issuer) untuk membayar imbalan berupa bunga pada periode tertentu, dan melunasi pokok utang pada waktu yang telah ditentukan kepada pihak pemegang obligasi," kata M Wira Adibrata, Jumat (28/2/2020).

Kepemilikan sebuah obligasi hanya sampai jatuh tempo. Untuk wilayah Jawa Tengah, nilai aset investor saham mencapai sekitar Rp33 triliun. Sedangkan untuk reksadana dan obligasi baru sekitar Rp7 triliun. Untuk wilayah Soloraya, jumlah investor sampai awal 2020 sebanyak 33.085 orang. Terdapat penambahan investor baru sepanjang 2019 sebanyak 8.213 orang. "Obligasi dapat diterbitkan oleh perusahaan maupun negara," ujarnya.

Obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan sebagai obligasi korporasi. Sedangkan obligasi yang diterbitkan negara disebut sebagai Surat Utang Negara (SUN). Obligasi dapat digunakan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pemerintah. Seperti membangun infrastruktur, menambah keterbatasan APBN. "Pemerintahan kita ini sudah sering mengeluarkan obligasi. Daripada pinjam keluar negeri, pinjam ke masyarakat deh," ujarnya.

SUN memiliki risiko yang rendah (kerap disebut zero risk) dikarenakan diterbitkan oleh negara. Sehingga kemungkinan negara mengalami gagal bayar atau kebangkrutan relatif kecil. Adapun risiko terbesar dari obligasi korporasi adalah terjadinya gagal bayar yang umumnya disebabkan oleh kondisi keuangan perusahaan yang mengalami financial distress. Untuk mengetahui tingkat risiko obligasi, investor dapat mempertimbangkan dari peringkat (rating) obligasi yang dikeluarkan oleh Lembaga Pemeringkat.

Rating tertinggi adalah AAA (triple A), berikutnya AA+, AA, AA-, A+, A, A-, BBB+ dan seterusnya. Obligasi yang mengalami default akan memiliki rating D yang mencerminkan bahwa obligasi tersebut default atau gagal bayar. Peringkat obligasi diberikan pada saat penerbitan obligasi, dan dievaluasi setiap waktu oleh Lembaga Pemeringkat.

Selanjutnya, pemegang obligasi disebut sebagai pemberi pinjaman (investor). Setiap pemegang obligasi akan mendapatkan kupon obligasi yang merupakan bunga pinjaman yang harus dibayar oleh penerbit kepada investor secara berkala. Baik secara bulanan, triwulanan, maupun semesteran.

Oleh karena itu, obligasi disebut sebagai instrumen investasi pendapatan tetap. Pada akhir periode jatuh tempo, pemegang obligasi juga akan menerima pelunasan senilai pokok obligasi tersebut dari penerbit. Selama belum jatuh tempo, obligasi dapat diperdagangkan di Bursa Efek sama seperti efek lain, seperti saham, sukuk, efek beragun aset, reksa dana berbentuk kontrak investasi kolektif maupun dana investasi real estate.

Harga awal obligasi yang diterbitkan pada nilai nominal disebut at par value atau 100% (sama dengan nilai utang atau nilai nominal obligasi). Ketika diperdagangkan di pasar sekunder, harga obligasi tersebut dapat mengalami kenaikan (contoh: 101%, 105,5%) maupun penurunan (contoh: 99%, 80%, bahkan mungkin lebih kecil lagi). Kenaikan dan penurunan harga obligasi dapat dipengaruhi oleh supply dan demand dari masing-masing obligasi. Semakin banyak peminat suatu obligasi yang diperjualbelikan, akan mempengaruhi kenaikan harga obligasi tersebut. Sebaliknya, jika lebih banyak yang ingin menjual, maka akan menyebabkan harga obligasi turun.

Supply dan demand untuk obligasi sendiri dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satu contohnya adalah kenaikan dan penurunan harga dan suku bunga risk free untuk instrumen investasi bebas risiko seperti Surat Berharga Negara (SBN). Apabila harga SBN turun sementara suku bunga yang ditawarkan dinilai cukup menarik, maka investor dapat beralih untuk membeli SBN.

Di sisi lain, investor yang memiliki obligasi yang dinilai lebih berisiko (rating yang lebih rendah) akan melepas obligasi tersebut sehingga menyebabkan demand obligasi menurun. Hal ini disebabkan karena investor memiliki kecenderungan memilih instrumen yang lebih aman. Dalam kondisi normal, harga suatu obligasi cenderung convergence menjelang waktu jatuh tempo. Namun demikian bila terjadi peningkatan default risk, hal tersebut dapat menjadi trigger bagi investor untuk menjual obligasi guna meminimalisasi potensi kerugian.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.5360 seconds (0.1#10.140)