Sifilis Ternyata Juga Bisa Serang Jantung dan Otak Lho

Senin, 17 Februari 2020 - 11:45 WIB
Sifilis Ternyata Juga Bisa Serang Jantung dan Otak Lho
Sifilis bukan hanya penyakit kelamin, lebih dari itu infeksi menular seksual (IMS) ini dapat menyerang organ lain, seperti jantung, otak, dan saraf pada tahap lanjut. Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Penyakit kelamin,sifilis ternyata juga bisa menyerang organ lain. Infeksi menular seksual (IMS) ini dapat menyerang jantung, otak, dan saraf pada tahap lanjut di kemudian hari.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI, sepanjang Juli-September2019 tercatat sekitar 1.586 pasien sifilis yang diobati di Indonesia, dari beragam kelompok risiko seperti wanita pekerja seks (WPS), pria pekerja seks (PPS), lelaki seks dengan lelaki (LSL), injection drug user (IDU), waria, pasangan risti, dan pelanggan pekerja seks.

Merujuk data distribusi kasus sifilis baru di RSCM, terjadi peningkatan jumlah pasien yang berobat akibat sifilis. Pada 2016 tercatat 45 pasien, 2017 tercatat 49 pasien, dan 2018 meningkat lagi menjadi 63 pasien. Dikatakan Dr dr Wresti Indriatmi SpKK(K) MEpid, spesialis kulit dan kelamin RSCM, jumlah penderita sifilis terus meningkat beberapa tahun terakhir.

“Ini disebabkan semakin banyaknya hubungan seks lelaki dengan lelaki,” sebut dr Wresti dalam acara “Sifilis, Silent Disease, si Perusak Organ” di Jakarta yang diadakan Klinik Pramudia. Bukan hanya itu, sifilis dikenal sebagai “the great imitator” karena banyak sekali gejala yang bisa ditimbulkan dan terkadang menyerupai gejala penyakit lainnya.

“Saya pernah ada pasien yang sudah berobat kedokter dan dinyatakan terkena eksim. Tapi tidak sembuh-sembuh. Ternyata setelah saya periksa, dia terkena sifilis. Penyakit ini juga mirip dengan psoriasis,” kata dr Wresti. Sayangnya, pengetahuan masyarakat terhadap penyakit sifilis sampai saat ini masih minim, termasuk tentang deteksi dini terhadap penyakit ini. Padahal, sifilis merupakan penyakit IMS yang dapat menyerang organ lain, seperti jantung, otak, dan saraf pada tahap lanjut di kemudian hari.

Sifilis yang yang disebabkan bakteri Treponemapallidum bersifat silent. Penyakit ini bekerja dengan diam, dengan faktor-faktor risiko yang harus diwaspadai, yaitu melakukan hubungan seks tanpa pengaman, lebih dari satu pasangan, serta hubungan seks pria dengan pria.

Penting untuk dicatat bahwa orang dengan HIV lebih rentan terhadap penularan sekaligus dapat menjadi penyebar sifilis. Sifilis juga dapat ditularkan dari ibu hamil ke janinnya. WHO menyatakan, sifilis dalam kehamilan adalah penyebab kedua terbanyak adanya stillbirth, prematuritas, berat lahir rendah, kematian neonatal, dan infeksi pada bayi baru lahir.

Oleh karena itu, jika memang merasakan gejala-gejala khas sifilis, seperti luka pada genital yang tidak sakit dan terdapat ruam dibagian tubuh, maka dianjurkan untuk segera berkonsultasi kepada dokter spesialis penyakit kulit dan kelamin. “Maka itu harus dilakukan pemutusan rantai penularan penyakit ini,” tegas dr Anthony Handoko SpKK FINDSV, CEO Klinik Pramudia.

Sifilis juga merupakan penyakit sistemik yang gejalanya tergantung pada stadium penyakitnya. Jika tidak segera diobati, penyakit tersebut bisa berkembang dalam stadium dengan gambaran klinis yang bervariasi dan tidak khas. Kemudian bisa menjadi komplikasi serius. Sebaliknya, jika diobati dini, penyakit ini bisa sembuh. Komplikasi yang terjadi juga akan sedikit.

Guna memutus mata rantai sifilis, Klinik Pramudia melakukan kampanye #SembuhGakPerluMalu yang diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap kesehatan kulit dan kelamin di Indonesia dengan membagi ilmu dan edukasi mengenai penyakit sifilis kepada seluruh masyarakat.“Kami mendorong agar masyarakat mau melakukan deteksi dini dan meningkatkan kesadaran berobat untuk sembuh tanpa perlu disertai rasa malu,” imbau dr Anthony.

Di Klinik Pramudia, sebelum dilakukan pengobatan, pasien akan menjalani sesi konsultasi dan pemeriksaan fisik yang dilakukan dokter spesialis kulit dan kelamin yang berpengalaman dan etis. Bila diperlukan, pasien akan mendapat rujukan pemeriksaan laboratorium sesuai dengan instruksi dokter spesialisnya. Lalu pengobatannya tergantung pada stadium yang diderita. Beberapa pasien juga dimungkinkan untuk mendapat terapi tambahan jika dibutuhkan. (Sri Noviarni)
(nun)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.8947 seconds (0.1#10.140)