Pesanan Menurun, Airbus Akan Hentikan Produksi Superjumbo A380

Jum'at, 15 Februari 2019 - 08:39 WIB
Pesanan Menurun, Airbus Akan Hentikan Produksi Superjumbo A380
Airbus akan hentikan produksi pesawat Superjumbo A380. Foto/Istimewa
A A A
PARIS - Dampakmenurunnya pesanan dari banyak maskapai membuat Airbus akan menghentikan produksi pesawat superjumbo A380. Pesawat terbesar di dunia yang memiliki dua dek kabin untuk menampung 544 penumpang untuk desain standar, memang didesain untuk menantang pesawat legendaris Boeing 747.

Namun, A380 dinilai gagal karena generasi pesawat baru justru lebih kecil. Airbus kemarin mengungkapkan bahwa A380 terakhir akan dikirim ke maskapai pada 2021. Kabar tak terduga dari Airbus itu setelah Emirates-pelanggan A380 terbesar-memutuskan untuk mengurangi pesanan pesawat superjumbo yang ikonik itu.

Emirates memutuskan untuk membeli 30 pesawat A350 dan 40 A330neo yang berukuran lebih kecil. Itu dilakukan dalam upaya restrukturisasi. “Ini adalah keputusan sulit bagi kita. Kita telah berinvestasi cukup banyak usaha, banyak sumber daya, dan banyak keringat. Namun, kita harus realistis,” kata CEO Airbus Tom Enders, dilansir Reuters.

Airbus akan berunding dengan serikat pekerja dalam beberapa pekan mendatang. Penghentian produksi A380 akan berdampak terhadap 3.000 hingga 3.500 pekerjaan. Biaya penghentian produksi bisa memakan dana senilai 463 juta euro, dan bisa mencapai 1 miliar euro karena utang pemerintahan Eropa.

Hingga 2021, Airbus hanya akan memproduksi 17 A380, termasuk 14 untuk Emirates dan 3 untuk maskapai ANA dari Jepang. Untuk menjamin pelanggan Airbus dari Asia hingga Eropa. Enders menjamin Airbus akan tetap mendukung pelayanan A380 ke depannya.

Maskapai Kecewa

Emirates yang memiliki 100 pesawat superjumbo A380 mengungkapkan kekecewaan dengan penghentian produksi tersebut. Chairman Emirates Sheikh Ahmed bin Saeed al-Maktoum mengungkapkan, Emirates merupakan pendukung A380 sejak awal.

“Kita sangat kecewa dengan penghentian produksi. Kita juga kecewa program itu tidak bisa dilanjutkan. Kita menerima ini sebagai realitas situasi yang terjadi,” kata Sheikh Ahmed.

Keputusan untuk penghentian produksi A380 setelah Emirates mencapai kesepakatan mesin dengan Rolls-Royce asal Inggris. Namun, kata Sheikh Ahmed, Emirates memutuskan bahwa A380 tetap menjadi armada utama hingga 2030. Rival utama Emirates, Etihad yang berbasis di Abu Dhabi, juga membatalkan pesanan pesawat Airbus dan Boeing.

Itu menimbulkan kekhawatiran pertumbuhan maskapai di negara-negara Teluk. Ketika menjalani penerbangan perdana pada 2005, A380 merupakan andalan utama Airbus untuk bersaing dengan Boeing. Namun, penjualan pesawat bermesin empat mengalami penurunan setelah munculnya pesawat bermesin ganda, seperti Boeing 787 dan 777 atau A350 milik Airbus.

Awal kabar penghentian produksi A380 pertama muncul pada bulan lalu dan dilaporkan Reuters. Itu dianggap sebagai program restrukturisasi. Keputusan penghentian produksi A380 menjadi program utama Enders yang akan mundur pada April mendatang.

Simbol Kekuatan Ekonomi yang Runtuh

A380 dicintai oleh para penumpang pesawat, tetapi ditakuti oleh para akuntan. Itu menunjukkan pesawat itu disukai dari segi performa, tetapi tidak pada urusan keuangan yang dikenal boros dan tidak efisien. Kini banyak maskapai memilih terbang dengan pesawat bermesin ganda, dibandingkan bermesin empat seperti A380.

Namun, penggemar A380, terutama pelanggan Emirates menyatakan pesawat dengan kursi 544 bisa menghasilkan uang ketika semua kursinya penuh. Jika ada kursi pesawat yang tidak terjual, keuangan maskapai menjadi berlubang. Itu disebabkan bahan bakar yang digunakan A380 sangatlah boros. Struktur pesawat berlantai dua juga dinilai terlalu besar.

“Itu (A380) merupakan pesawat yang ditakutkan Chief Finance of Officer (CFO), karena berisiko menjual terlalu banyak kursi dengan harga mahal,” ujar sumber di industri penerbangan yang akrab dengan program tersebut.

Selain euro yang mampu menyolidkan Eropa, A380 juga menjadi simbol persatuan antara Inggris, Prancis, Jerman, dan Spanyol yang memproduksinya. “A380 merupakan simbol kekuatan ekonomi,” kata mantan perdana Menteri (PM) Inggris Tony Blair. Sementara itu, mantan PM Spanyol Jose Luis Rodriguez Zapatero menyebut A380 sebagai realisasi mimpi.

Banyak maskapai yang awalnya langsung memesan A380 dengan harapan biaya operasional rendah dan meningkatkan keuntungan. Namun, penurunan industri pariwisata sejak September 2001 menjadikan A380 tidak lagi memiliki daya tawar. Airbus menjual A380 dengan harga USD446 juta.

Keguguran A380 ternyata sangat berbeda dengan acara peluncurannya pada 2005 yang berlangsung meriah dan dipenuhi optimisme. Di tengah publik berbicara mengenai persatuan, tugas utama Prancis dan Jerman adalah melemahnya industri penerbangan. Ditambah dengan penundaan realisasi pengiriman pesawat kepada maskapai pada 2007 dan krisis keuangan global yang mengganggu. Penjualan A380 pun melambat.

Pada saat yang sama, produsen mesin yang berjanji kepada Airbus satu dekade lalu untuk mengatasi ketidakefisienan pesawat super jumbo ternyata gagal. Namun, mereka berhasil mendesain mesin generasi mendatang yakni pesawat bermesin ganda yang lebih efisien yakni A380.

Akhirnya, dewan direksi Airbus menuntut investasi segar dan peluncuran ulang A380 yang lebih agresif. Munculnya A380 dengan desain mewah dilengkapi dengan kamar mandi dan lebih ramah lingkungan. Airbus meluncurkan slogan, “Saving The Planet One A380 at a Time”.

Dikalahkan Boeing

Di samping permasalahan industrial, Boeing mampu menang dengan pesawat terbarunya 787 Dreamliner. Itu didesain sebagai solusi untuk mengatasi A380 dan membuka rute baru yakni dikenal dengan “point to point”. Airbus melakukan perlawanan. Mereka menganggap perjalanan antara kota-kota besar tidak akan mengganggu dominasi transportasi udara.

Tapi, pertumbuhan ekonomi justru membalikkan prediksi Airbus. Kota menengah justru berkembang dua kali lipat dibandingkan kota besar. Apa akibatnya? Pesawat bermesin ganda seperti Boeing 787 dan 777 atau A350 pun laris manis.

Enders memang dikenal sebagai pendukung utama A380. Dia mengakhiri permainan proyek itu saat ini setelah pertimbangan selama dua tahun. “Enders menganggap penghentian produksi karena kekurangan pesanan,” kata sumber yang dekat CEO kelahiran Jerman itu.

Orang dalam Airbus khawatir perusahaan justru akan kehilangan simbol kebanggaan dan komersialisasi A380 ketika produksinya dihentikan pada 2021. Bos maskapai pun mencari jaminan dari Airbus untuk menyediakan perangkat dan peralatan pengganti untuk beberapa tahun mendatang. Apalagi banyak maskapai sudah terlalu besar mengeluarkan dana untuk membangun armada A380.
(mif)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.0418 seconds (0.1#10.140)