Jerit PKL: Tak Butuh Modal dan Pelatihan, Hanya Ingin Jualan

Senin, 27 Januari 2020 - 19:00 WIB
Jerit PKL: Tak Butuh Modal dan Pelatihan, Hanya Ingin Jualan
Ilustrasi/SINDOnews
A A A
SEMARANG - Pemerintah Kota Semarang diminta tak asal menggusur pedagang kaki lima (PKL). Meski memiliki peran menjaga perputaran roda perekonomian di tingkat bawah, namun keberadaannya kerap dikejar-kejar petugas.

Ketua Bidang Advokasi dan Hukum Paguyuban Pedagang dan Jasa Pasar (PPJP) Kota Semarang, Zaenal Abidin Petir, mengatakan banyak PKL yang harus kucing-kucingan dengan petugas Satpol PP. Saat menggelar lapak dagangan, mereka tak hanya melayani konsumen tetapi juga harus awas jika petugas mendadak datang.

"Mereka itu menangis, menangisnya apa? PKL itu orang yang secara ekonomi sangat terbatas modal dan keilmuan. Mereka juga tidak memiliki spesifikasi ilmu untuk mengekspansi usahanya," terang Zaenal, Senin (27/1/2020).

"Jadi mereka orang-orang yang nekat untuk tetap hidup, hanya untuk bertahan hidup, bukan ingin kaya. PKL itu tidak ada yang cita-cita kaya, hanya bisa bertahan hidup untuk menghidupi dirinya dan anak istri atau keluarganya," tegas dia.

Komisioner Komisi Informasi Publik (KIP) Jawa Tengah itu menilai Pemerintah Kota Semarang masih abai terhadap nasib PKL. Tidak adanya kepastian hukum membuat keberadaan PKL semakin diburu dengan alasan penertiban sekaligus penegakan Perda (Peraturan Daerah).

"Kalau mereka itu tidak diberi kepastian hukum, ketika jualan terus digusur, jualan lagi digusur, itu kasihan. Harusnya pemerintah membikin kepastian hukum, misalnya silakan jualan jam sekian jam sekian. Kalau tiap hari enggak boleh jualan, lalu mereka makan apa?," tanyanya.

"Saya minta kepada Pemerintah Kota Semarang harus carikan solusi. Jangan hanya gusur, gusur. Ketika mereka baru jualan dan laku misalnya laku Rp5.000 langsung digusur, padahal modalnya Rp400 ribuan. Kan kasihan. Apa itu namanya pemerintah enggak bikin kere (miskin) PKL?," tandasnya.

Dia pun menyoroti Peraturan Daerah (Perda) Kota Semarang Nomor 3 Tahun 2018 tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Meski telah memiliki atutan, namun dalam pelaksanannya dinilai bukan dalam rangka penataan melainkan justru merugikan para pedagang kaki lima.

"Bunyi aturan itu adalah penataan dan pemberdayaan bukan penggusuran. Mestinya pemberi kebijakan wali kota termasuk wakil wali kota yang sangat intens sekali untuk memerintahkan penertiban melalui Satpol PP, harusnya mikir cari solusi," cetusnya.

"Jam berapa mereka bisa jualan? Mereka tidak dikasih modal sudah senang, asal bisa jualan. Kami hanya ingin kepastian kapan bisa jualan dan di mana. Kami juga enggak butuh dilatih dengan mengeluarkan uang pelatihan dari Pemerintah Kota Semarang. Kami tidak perlu mendapatkan bantuan modal, kami sap mandiri," tegas dia.

Sebelumnya, Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi secara resmi membuka Jalan Depok sebagai destinasi wisata kuliner malam akhir pekan, pada Jumat 24 Januari. Pusat Kuliner Depok itu menjadi satu dari tiga area kuliner malam baru di Kota Semarang yang ditargetkan secara bertahap dibuka pada tahun ini.

Area lain yang sedang disiapkan di Jalan Singosari dan Jalan Veteran. Tak hanya itu, area kuliner Pecinan juga akan ditingkatkan, dengan Pasar Kuliner Semawis sebagai embrio. Dengan dibukanya sejumlah area kuliner malam baru di Kota Semarang merupakan cara pemerintah mendukung pengembangan UMKM di Kota Semarang.

"Di tengah keinginan kita untuk menggerakkan sektor pariwisata Kota Semarang, kita tidak punya laut biru, pasir putih, tapi kita punya warga yang kompak yang mampu membuat kota Semarang menjadi hebat. Maka hari ini, kita jadikan Depok sebagai pusat wisata kuliner yang sehat," ujar pria yang akrab disapa Hendi itu.

"Karena menjadi komitmen kami juga bahwa pengembangan sektor pariwisata Kota Semarang harus berdampak pada kesejahteraan sedulur-sedulur," pungkas dia.
(nun)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.2420 seconds (0.1#10.140)