Banyak Muncul Kerajaan Baru Karena Rakyat Tidak Nyaman di Era Sekarang

Rabu, 22 Januari 2020 - 20:56 WIB
Banyak Muncul Kerajaan Baru Karena Rakyat Tidak Nyaman di Era Sekarang
Raja dan Ratu Keraton Agung Sejagat sebelum ditangkap Polda Jateng. Munculnya kerajaan baru dinilai karena masyarakat merasa tidak nyaman di era sekarang. FOTO/DOK.iNews
A A A
SOLO - Pengamat Sejarah dan Budaya Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo Tundjung W Sutirto menyatakan munculnya Keraton Agung Sejagat di Purworejo bukan hal yang baru. Kasus serupa pernah muncul di awal abad 19 sebagai protes terhadap rezim di era kolonial.

"Gerakan itu bersifat milenaristik, yaitu mengharap hadirnya masa keemasan. Entah itu masa keemasan yang digambarkan di era Majapahit atau sebelumnya," kata Tundjung W Sutirto, Rabu (22/1/2020).

Karena gerakan itu mengharapkan zaman yang lebih baik di era sekarang, sehingga pemimpin gerakannya menjanjikan sesuatu yang akan enak, dan lebih sejahtera daripada sekarang. (Baca Juga: Pertemuan Raja-Ratu Agung Sejagat, Kisah Cinta Bujang-Janda)

Munculnya kelompok-kelompok lain tapi mirip Kerajaan Agung Sejagat, seperti Sunda Empire, Jipang, dan Pajang, Tundjung melihat perlu kajian sejarah. Keberadaanya harus terbukti melalui sumber sejarah, bukan sekedar pengakuan lisan.

Keberadaan keraton abal-abal, ciri-cirinya antara lain kemunculannya selalu lokal, muncul di wilayah yang ikatan sosialnya rapuh. Legitimasinya juga berdasarkan kroni.

Keberadaan Keraton Agung Sejagat, negara semestinya sudah bisa mendeteksi sejak lama mengingat memiliki anggota mencapai ratusan. "Itu bukan proses sehari dua hari, butuh proses lama untuk meyakinkan orang dalam jumlah banyak," katanya.

Proses memberikan legitimasi psikologis dinilai diperankan oleh kroni-kroninya untuk kepentingan yang bagi negara dianggap sebagai tindak pidana penipuan. Namun yang perlu digaris dibawahi, para pengikutnya bukan dari generasi muda. Melainkan generasi-generasi yang sudah mapan, sehingga Tundjung justru mempertanyakan apakah ini merupakan hasil gembar-gembor Revolusi Mental.

Jika revolusi mental bisa diwujudkan, maka apakah hal ini merupakan wujudnya. Kemudian orang menjadi kosong secara psikologis terhadap hal-hal yang berkaitan dengan masalah kepemimpinan. Terlebih keraton yang asli kini juga tidak bisa memberikan perannya. "Seperti di Surakarta yang ada keraton, kita tidak bisa mendapatkan pesan keluhuran dari aristokrat kultural. Yang terjadi adalah krisis yang berkepanjangan," katanya.

Salah satu kesalahan yang dilakukan pemerintah, lanjut Tundjung, adalah mengabaikan kepemimpinan informal di lokal. Dicontohkannya, semenjak RI berdiri apakah pernah di Surakarta merencanakan pembangunan dengan melibatkan semua unsur. Termasuk Raja Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran dalam satu forum, sehingga dapat diketahui keinginan keraton itu seperti apa.

Namun hal itu tidak terungkap mengingat selama ini belum pernah ada. Ketika Musyawarah Rencana Pembangunan, selama ini tidak pernah melibatkan otoritas tertinggi di keraton, seperti Sinuhun dan Mangkunegara, sehingga masyarakat mencari suatu alternatif. "Jadi konteks-konteks seperti raja-raja baru itu sebenarnya untuk mencari alternatif," katanya.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.3790 seconds (0.1#10.140)