Elang Hitam Penjaga Nusantara Buatan Anak Negeri

Sabtu, 18 Januari 2020 - 11:30 WIB
Elang Hitam Penjaga Nusantara Buatan Anak Negeri
Foto/Ilustrasi/Koran SINDO
A A A
JAKARTA - Teknologi penerbangan di Indonesia tak ketinggalan dari negara-egara maju. Indonesia berhasil membuat pesawat tanpa awak. Pesawat tanpa awak atau dikenal dengan drone ini tampil perdana di hanggar PT Dirgantara Indonesia (PTDI) Kota Bandung pada akhir tahun 2019.

Kerja sama antara PTDI, Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi (BPPT), Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan PT LEN Persero berhail mengembangkan drone untuk kebutuhan pengamatan udara. Drone berjenis Medium Altitude Long Endurance (MALE) Elang Hitam ini mampu terbang selama 24 hingga 34 jam tanpa henti.

Drone MALE memiliki target kemampuan untuk bisa take off dan landing sekitar 700 meter serta mengudara dengan kecepatan maksimum jelajah 235 km/jam di ketinggian sekitar 20.000 kaki. Pesawat ini dilengkapi dengan sistem pengendalian UAV. Nama Elang Hitam dipilih oleh Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro. Pesawat ini memiliki tinggi 2,6m, panjang 8,65m, dan lebar sayap 12,5m.

Pada 2015, rancangan kebutuhan dan tujuan pembuatan drone bertipe MALE ini telah disepakati TNI sebagai pengguna, khususnya TNI AU. Proses perancangan drone MALE diawali dengan kegiatan preliminary design dan basic design dengan pembuatan dua kali model terowongan angin.

“Inisiasi pengembangan PUNA MALE telah dimulai oleh Balitbang Kemenhan sejak 2015 dengan melibatkan TNI, Ditjen Pothan Kemenhan, BPPT, ITB, dan PT Dirgantara Indonesia. Kami sepakat bahwa rancangan kebutuhan dan tujuannya akan dioperasikan oleh TNI, khususnya TNI AU,” kata Elfien Goentoro selaku Direktur Utama PTDI.

Pada 2017 dilanjutkan dengan pembuatan engineering document and drawing menggunakan anggaran dari Balitbang Kemenhan dan BPPT. Hasil uji setiap desain terlihat pada tahun 2016 dan 2018. Kemudian pada 2019 dilakukan tahap manufacturing yang diawali dengan proses design structure, perhitungan finite element method,pembuatan gambar 3D, dan detail drawing 2D. Tenaga ahli dari BPPT mengerjakan proses ini dengan sangat hati-hati dan penuh ketelitian serta disupervisi oleh PTDI.

Proses selanjutnya adalah membuat tooling, molding, cetakan dan fabrikasi. Proses ini menggunakan bahan setengah jadi (pre-preg) dengan autoclave. Pada tahun yang sama juga dilakukan pengadaan Flight Control System (FCS) yang diproduksi di Spanyol. Hasil pengadaan itu diproyeksikan akan diintegrasikan pada prototip pertama pesawat udara nirawak MALE yang telah dimanufaktur oleh PT Dirgantara Indonesia pada awal 2020.

“Proses integrasi dilaksanakan oleh engineer BPPT dan PT Dirgantara Indonesia yang mendapatkan pelatihan untuk mengintegrasikan dan mengoperasikan sistem kendali,” katanya.

Elfien menargetkan pada 2020 ini akan dilakukan uji terbang perdana untuk mengetahui seberapa besar kemampuan yang dimiliki drone tersebut. “Targetnya bisa terbang perdana, meskipun saat ini masih dalam development manufacturing,” katanya.

Dia juga mengatakan, tahun ini akan dibuat dua unit prototipe berikutnya. Proses sertifikasi produk militer juga akan dimulai dan diharapkan pada akhir 2021 sudah mendapatkan sertifikat tipe dari Pusat Kelaikan Kementerian Pertahanan RI (IMAA).

Kepala BPPT Hammam Riza mengatakan pesawat ini nanti dapat digunakan untuk mendukung pengawasan hutan dan lahan. Menjaga terjadinya kebakaran Hutandan Lahan (Karhutla) menjadi salah satu tugas dari pesawat ini. Hammam menjelaskan, teknologi sintetik aparatur radar yang akan dipasang di MALE bisa memeriksa kandungan air dalam tanah. Jangkauan yang diberikan sekitar 30 cm di bawah permukaan tanah.

“Jadi, kita bisa mengukur seberapa banyak jumlah air yang dikandung sebelum tanah itu kering, kita bisa sirami, sehingga tidak muncul kebakaran hutan dan hotspot (titik panas),” ungkapnya.

Hammam juga mengapresiasi masuknya Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) sebagai anggota konsorsium tersebut. “Kini dengan tim yang lebih lengkap, saya harapkan seefektif untuk menghidupkan industri nasional yang dapat mendukung industri alat sistem pertahanan,” katanya.

Pesawat udara nirawak karya anak bangsa ini akan selalu dikembangkan hingga layak produksi masal. Termasuk mengintegrasikan senjata dalam prototipe MALE yang diproyeksikan akan mendapat sertifikasi tipe produk militer pada 2023. Sesuai dengan mandat Undang-Undang No.16/2012 tentang Industri Pertahanan, Indonesia harus bisa menumbuhkembangkan industri dalam negeri. Salahsatunya dengan menciptakan inovasi baru di bidang teknologi keamanan.

“Pengembangan PUNAMALE bertujuan mendukung kemandirian alat utama sistem pertahanan (alutsista) dalam negeri serta mendukung kegiatan intelijen, pengawasan, pengintaian dan penargetan (intelligence, surveillance, reconnaissance and targeting),” katanya.

Pemerintah berharap hadirnya pesawat udara nirawak ini bisa membantu menjaga kedaulatan NKRI dari udara. Kebutuhan pengawasan dari udara harus bertambah seiring dengan meningkatnya ancaman di daerah perbatasan, terorisme, penyelundupan, pembajakan dan pencurian sumber daya alam, seperti illegal logging dan illegal fishing. (Fandy)

Spesifikasi:
Panjang drone 8,65 meter
Tinggi 2,6 meter
Lebar sayap 12,5 meter
Mampu mengudara selama 24 jam
Kecepatan 253 km/jam
Ketinggian terbang 20.000 kaki
(nun)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 2.4293 seconds (0.1#10.140)