Jaga Kedaulatan Natuna, TNI Kirim F-16

Rabu, 08 Januari 2020 - 08:30 WIB
Jaga Kedaulatan Natuna, TNI Kirim F-16
TNI Angkatan Udara (AU) kemarin mengirimkan empat pesawat tempur F-16 ke perairan Natuna. Foto/Dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Pemerintah tidak main-main soal Natuna. Untuk mengusir kapal-kapal China dari perairan Natuna, Kepulauan Riau (Kepri) selain mengirimkan kapal perang (KRI), TNI Angkatan Udara (AU) juga mengirimkan empat pesawat tempur F-16.

Komandan Pangkalan Udara (Lanud) Roesmin Nurjadin (Rsn) Marsekal Pertama Ronny Irianto Moningka membenarkan, Lanud Rsn kemarin menerbangkan empat pesawat tempurnya ke Natuna, Kepri. Pesawat tempur F-16 itu akan melaksanakan operasi Lintas Elang 20.

“Operasi ini adalah operasi rutin. Cuma wilayah kita adalah wilayah barat, untuk kali ini istilahnya bertempat di Natuna. Operasi ini operasi rutin yang kita geser wilayahnya ke Natuna,” tandas Ronny kepada wartawan, Selasa (7/1/2020). Menurut dia, pergeseran empat pesawat tempur F-16 ke Natuna ini merupakan perintah dari Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto.

Meski demikian, Ronny tetap menyatakan bahwa ini merupakan latihan rutin. “Operasi Lintas Elang pada dasarnya pengamanan wilayah kedaulatan NKRI. Hari ini (kemarin) kita berangkatkan,” tandasnya. Ronny menjelaskan, selama menjalankan operasi rutin tersebut, pihaknya tidak akan melakukan provokasi pada pihak manapun. Namun, operasi tersebut untuk menjaga wilayah NKRI.

“Kekuatan yang kita turunkan satu flight pesawat F-16. Pesawat ini akan kita siapkan di Pangkalan TNI AU di Natuna. Perintahnya bergeser dulu nanti untuk berapa lamanya, menyesuaikan perintah pimpinan. Kalau bicara kesiapan, ya pada dasarnya menyiapkan seluruh personel, penerbang, pesawat untuk siap selalu melakukan operasi,” kata Ronny.

Sementara itu, Badan Keamanan Laut (Bakamla) juga menambah dua unit KRI di perairan Natuna. Kepala Bakamla Laksamana Madya Achmad Taufiqoerrochman membenarkan kemarin pihaknya sudah memberangkatkan dua unit kapal di perairan Natuna.

Langkah ini untuk memperkuat upaya mengusir kapal asing asal China yang melintasi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Perairan Natuna di Kepulauan Riau. “Kita imbangi mereka, yang jelas saya akan memberangkatkan dua KRI dari Batam,” tandas Achmad seusai Rakorsus Pengamanan Laut di Kemenko Polhukam, Jakarta, kemarin.

Achmad mengatakan, jumlah kapal China yang masuk perbatasan Indonesia masih belum bertambah. Namun, diduga akan memperkuat dengan menambah atau mengganti kapal di Natuna, Kepulauan Riau. “Kalau jumlah di situ tetap, tapi kelihatannya ada perkuatan. Apakah perkuatan itu untuk memperkuat atau mengganti, nanti kita akan lihat. Ada tiga coast guard, dua di utara. Apakah dua ditarik masuk, tetap tiga, atau memang ditambah,” paparnya.

Terpisah, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md menyebutkan ada tumpang tindih aturan yang menangani kelautan di Indonesia. Bahkan, menurut Mahfud, saat ini ada sekitar 24 undang-undang yang mengatur urusan laut.

“Itu pertama ditemukan 17, hari ini (kemarin) di meja saya tercatat 24 UU yang menyangkut itu. Laporan pertama itu 17 sesudah dianalisis muncul 24 ditambah 2 peraturan pemerintah yang juga agak tumpang tindih,” ungkapnya seusai memimpin rapat koordinasi di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, kemarin.

Menurut Mahfud, praktik penanganan kelautan Indonesia itu didasarkan pada kewenangan berbagai undang-undang yang berbeda dan kadang kala timbul masalah. Misalnya, ada satu penanganan hukum di satu tempat sudah selesai ditandatangani, tapi tiba-tiba ada instruksi lain yang merasa berwenang melepaskan sehingga lepas, itu beberapa kali terjadi. Dia pun menilai perlu ada sinergi agar aturan tidak tumpang tindih.

“Ketika dibuat undang-undang itu filosofinya benar semua, bagus, tetapi sekarang perlu sinergitas. Sehingga, kita berpikir mau membuat omnibus tentang kelautan itu, entah nanti cukup di PP. Bisa kok omnibus dengan PP itu. Ataukah sampai ke undang-undang, itu tergantung hasil diskusi. Tetapi di dalam praktik penanganan kelautan kita itu didasarkan pada kewenangan berbagai undang-undang yang berbeda-beda,” paparnya.

Adanya tumpang tindih ini, lanjutnya, bisa menimbulkan masalah untuk menangani persoalan kelautan. Tumpang tindih itu terjadi karena masing-masing memiliki tugas dan fungsi, sehingga perlu disederhanakan termasuk soal keamanan di laut.

“Kita akan tangani masalah kelautan kita termasuk sekaligus mengatur masalah keamanannya, mengatur masalah pertahanannya, masalah kekayaan lautnya, dan sebagainya nanti semua sedang dibahas lalu akan mengerucut ke mana,” tandasnya.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Hamdan Zoelva sepakat penyusunan Omnibus Law Keamanan Laut. “Betul, Omnibus Law penting, untuk menyinkronkan UU kelautan secara keseluruhan,” ungkapnya. Zoelva mengatakan bahwa Indonesia harus punya UU Pertahanan Keamanan Negara. “Makanya itu pertama sekali memang saya sampaikan bahwa kita itu tidak punya lagi Undang-Undang Hankamneg, undang-undang sistem pertahanan keamanan negara,” katanya.

Sehingga, lanjutnya, masalah urusan aturan pertahanan kelautan tidak akan tumpang tindih. “Melalui UU Hankamneg ini, masalah-masalah yang paling pokok diatur di situ. Baru kemudian undang-undang yang lain disinkronisasi sehingga lebih mudah,” paparnya. Zoelva mengatakan, salah satu langkah yang tepat dilakukan pemerintah yakni melalui omnibus law pertahanan kelautan.

“Itu perlu omnibus law, untuk masalah kelautan. Polisi, jaksa, polisi air, TNI, dan Bakamla harus dilibatkan,” tandasnya. Dia mencontohkan di Amerika Serikat, masalah kelautan ini diurusi coast guard. “Nah kita ini banyak sekali yang mengurusi. Seharusnya siapa yang bertanggung jawab? kalau saya kasih ke TNI AL saja, jadi coast guard-nya di situ. Jadi sudah selesai, diberikan kewenangan kepada undang-undang.

Ini untuk efektifitas masalah penanganan keamanannya termasuk masalah hukumnya ada di sana,” ujarnya. Wakil Ketua Umum DPP Partai Demokrat Syariefuddin Hasan mengatakan, pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Indonesia pernah mengalami sengketa wilayah laut dengan Malaysia di Ambalat.

Menurut dia, saat itu SBY memilih bersikap tegas. Ketika saat ini Indonesia mengalami permasalahan serupa di Perairan Natuna, Syarief Hasan pun mengaku teringat langkah SBY saat itu dalam menyelesaikan sengketa perairan Ambalat.

“Kasus Natuna ini mengingatkan saya pada kasus Ambalat 2005-2006, di mana SBY saat itu sangat tegas bahwa kalau menyangkut kedaulatan NKRI maka tidak ada istilah kompromi. Mereka harus keluar dari teritorial kedaulatan NKRI,” ungkap Syarief Hasan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.

Nah, ketika saat ini China melakukan hal serupa dengan memasuki perairan Natuna, Wakil Ketua MPR ini mendukung pemerintah untuk bersikap tegas dan tanpa kompromi dalam hal menjaga kedaulatan NKRI. “Dan ternyata dulu SBY berhasil. Bahkan, SBY pernah di kapal perang berhadapan dengan perbatasan Malaysia waktu itu. Kalau mau perang, ayo perang, waktu itu. Tetapi respons Malaysia saat itu dan kita juga ingin menyelesaikan melalui saluran diplomatik,” ujarnya.

Dalam kasus Natuna, Syarief Hasan juga mengapresiasi ketegasan pemerintah dalam menjaga kedaulatan NKRI. “Jokowi saya ikuti statemennya, saya pikir cukup tegas dan saya pikir harus diikuti Menko Polhukam, Menhan untuk tegas dalam menjaga kedaulatan NKRI,” katanya.

Menurut dia, menteri juga harus memiliki sikap tegas dalam kasus Natuna. Jika ternyata sengketa dengan China ini membawa implikasi terhadap perekonomian Tanah Air, hal itu menurut dia merupakan resiko dalam menjaga kedaulatan negara.

“Toh China merupakan investor nomor tiga. Pasti juga China membutuhkan Indonesia. Jadi, tidak usah khawatir tentang implikasi terhadap ekonomi. Mereka juga membutuhkan kita. Jadi kita harus betul tegas dan tidak boleh negosiasi. Kalau nego itu take and give. Kan kita hanya menginginkan China menaati unclos yang sudah ratifikasi bersama,” paparnya.
(nun)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.4070 seconds (0.1#10.140)