Klaim China Ditolak PBB, Indonesia Harus Berani Tegas soal Natuna

Senin, 06 Januari 2020 - 09:57 WIB
Klaim China Ditolak PBB, Indonesia Harus Berani Tegas soal Natuna
Keberadaan kapal penjaga pantai dan kapal ikan Chiha di perairan Natuna membuat publik dan Pemerintah Indonesia geram. Meski telah berhasil diusir Bakamla dan militer Indonesia, otoritas China mengklaim memiliki hak di perairan tersebut. Ilustrasi/setkab.
A A A
JAKARTA - Kapal ikan yang dikawal penjaga pantai China nekat memasuki perairan Natuna. Aksi ini membuat publik dan Pemerintah Indonesia geram. Meski telah berhasil diusir Badan Keamanan Laut (Bakamla) dan militer Indonesia, otoritas China mengklaim memiliki hak di perairan tersebut.

Pengamat intelijen dan keamanan, Stanislaus Riyanta menganggap,sikap tegas Pemerintah Indonesia yang tidak akan pernah mengakui Nine Dash Line atau sembilan garis putus-putus yang diklaim oleh China sudah tepat.

"Natuna telah jadi milik Indonesia sesuai dengan ketetapan United Nations Convention for The Law of The Sea (UNCLOS) atau konvensi Hukum Laut PBB pada 1982," kata Riyanta dalam keterangan tertulisnya, Senin (6/1/2020).

Menurut Riyanta, ulah China di Laut China Selatan juga dilawan oleh Filipina. Filipina membawa sengketa Laut Cina Selatan ke Permanent Court of Arbitration karena menentang Nine Dash Line.

Pada 12 Juli 2016 Permanent Court of Arbitration menyatakan China melanggar kedaulatan Filipina di Laut Cina Selatan. Keputusan ini juga menjadi dasar hukum bagi kedaulatan Indonesia atas Natuna.

Menurut dia, area dalam Nine Dash Line yang diklaim China seluas 2 juta km persegi di Laut Cina Selatan terdiri atas wilayah laut Indonesia di Natuna, laut Filipina, laut Malaysia, laut Vietnam, dan laut Brunei.

Jauh sebelum putusan Permanent Court of Arbitration, pada tahun 2009, China sudah pernah mendaftarkan Laut China Selatan sebagai wilayahnya ke PBB.

"Tapi ditolak karena China tak bisa menjelaskan dasar hukum yang valid," ungkap dia.

Riyanta menganggap, sikap tegas Indonesia terhadap agresi China di Natuna yang dinyatakan oleh Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi sangat tepat.

Retno LP Marsudi menegaskan Indonesia tidak akan pernah mengakui klaim sepihak China atas teritorial lautnya yang disebut Nine Dash Line. Presiden Joko Widodo melalu Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman juga menegaskan tidak akan kompromi dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia.

Riyanta mengatakan, pernyataan Presiden dan Menteri Luar Negeri tersebut tentu sekaligus mematahkan pernyataan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto yang terkesan lebih lunak dengan mempertimbangkan aspek persahabatan.

"Selain itu Presiden dan Menteri Luar Negeri juga meluruskan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Pandjaitan yang mempertimbangkan aspek investasi," ujar dia.

Riyanta berharap, sikap China yang melanggar kedaulatan Indonesia selain disikapi dengan tegas juga perlu dicari faktor penyebabnya. Berbagai spekulasi muncul atas sikap China tersebut. Namun tindakan agresif China yang terjadi pasca kuatnya aksi di Indonesia atas isu Uighur tidak bisa dibantah. Indonesia juga harus membangun kekuatan militer yang lebih baik.

"China tentu tidak akan berulah jika sasarannya mempunyai militer yang kuat. Dalam kasus di Natuna bisa saja China memang meremehkan kekuatan militer Indonesia, apalagi jika respons Indonesia melunak," tuturnya.

Di sisi lain, Riyanta menyebutkan isu tentang sikap China ini juga perlu diwaspadai dampaknya di Indonesia. Adanya kelompok tertentu di Indonesia yang mempunyai sentimen negatif terhadap China bisa berkembang menjadi aksi yang negatif.

Sentimen yang sudah dipicu oleh isu Uighur bisa semakin berkembang dengan sikap China di Natuna.

"Isu-isu tersebut harus dikelola dengan baik supaya tidak menjadi faktor pendorong terjadinya unjuk rasa, konflik SARA maupun aksi teror," papar dia.

Dia menjelaskan, Natuna adalah wilayah Indonesia yang sangat kaya akan sumber daya alam dan letaknya sangat strategis. Untuk itu, sikap tegas perlu dilakukan untuk menjaga dan mengelola wilayah tersebut dengan baik.

"Jika sikap Indonesia lemah, termasuk karena tekanan persahabatan dan investasi, maka jangan berharap wilayah tersebut dapat dipertahankan," tuturnya.
(nun)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.2795 seconds (0.1#10.140)