Ini Catatan Akhir Tahun 2019 dari Muhammadiyah

Sabtu, 21 Desember 2019 - 20:04 WIB
Ini Catatan Akhir Tahun 2019 dari Muhammadiyah
Ketum PP Muhammadiyah Prof Haedar Nashir (kanan) memberikan keterangan catatan akhir tahun 2019 di kantor PP Muhammdiyah, Jalan Cik Ditiro, Yogyakarta, Sabtu (21/12/2019). Foto : SINDOnews /Priyo Setyawan
A A A
YOGYAKARTA - Ketua Umum Pimpinan Pusat (Ketum PP) Muhammadiyah Prof Haedar Nashir memyampaikan catatan akhir tahun 2019 Muhammaidyah terhadap perjalanan bangsa Indonesia 2019 dan proyeksi awal tahun 2020 di kantor PP Muhammadiyah, Jalan Cik Ditiro, Yogyakarta, Sabtu (21/12/2019). Ada tiga hal utama yang menjadi catatat khusus, yakni kebangsaan, Pancasila dan budaya.

Haedar Nashir mengatakan untuk kebangsaan, Indonesia merupakan bangsa yang hidup dalam keberagaman, namun tetap bersatu. Dalam keragaman
agama, masyarakatnya hidup dalam suasana toleran. Negara yang majemuk ini terus berproses membentuk Bhinneka Tunggal Ika. Di tengah keragaman itu, bangsa Indonesia telah mencapai konsensus yang diterima oleh semua.

“Kita bersyukur karena diikat oleh Pancasila sebagai ideologi bernegara. Nilai-nilai di setiap silanya begitu kaya. Pancasila menjadi nilai ideologis yang mengikat kita semua,” katanya.

Haedar menjelaskan sebagai negara hasil konsensus, semua komponen bangsa harus menaati perjanjian itu dan berkomitmen untuk tidak mengingkarinya. Bangsa Indonesia punya berbagai potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk tinggal landas menjadi negara maju.

“Potensi positif ini harus bisa kita kapitalisasi untuk kemajuan. era modern abad 21, era digital, sebagai lompatan besar abad ini bisa menjadi kekuatan kita. Tinggal bagaimana kita mengkapitalisasinya, ” paparnya

Di saat yang sama, Indonesia harus mampu menghadapi tantangan besar yang menderanya secara adil, bijak, dan cerdas. Penjajahan fisik sudah selesai. Tapi penjajahan lain dalam bidang politik, ekonomi, harus juga disadari. Termasuk politisasi identitas suku, agama, dan politik.
.
“Kita perlu melakukan rekonstruksi terhadap hal-hal yang menyangkut aspek kebangsaan kita. Harus ada meaning, nilai, yang bermuara pada Pancasila,” ungkap guru besar sosologi itu.

Mengenai apa yang harus dilakukan Indonesia ke depan, Haedar mengajukan beberapa tawaran. Pertama, agama harus menjadi kekuatan nilai yang hidup. Nilai luhur agama sebagai perwujudan sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi denyut nadi kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai positif umat beragama jauh lebih besar dibanding hal-hal negatifnya.

Kedua, Pancasila harus menjadi landasan filosofi dan alam pikir bangsa. Apakah nilai-nilai Pancasila sudah menjiwai setiap kebijakan negara di bidang ekonomi, politik. Kebijakan ekonomi dan politik apakah sudah dijiwai oleh sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Sehingga Pancasila jangan menjadi alat pukul bagi yang berbeda pandangan.

“Ketiga, Indonesia harus melakukan rekonstruksi yang bermakna di bidang politik, ekonomi, dan budaya. Segenap kita dan para elite perlu bertanya. Kebudayaan luhur bangsa apakah masih hidup.Jawabnya masin,” tandasnyas.

Menurut Haedar rekonstruksi ini dalam upaya membawa bangsa tetap tegak di atas nilai dasar bangsa dan sekaligus mampu melakukan transformasi menuju negara yang maju. “Mengkonstruksi itu perlu ada dialog terus-menerus, perlu ada catatan kritis. Memajukan Indonesia menjadi komitmen kolektif bersama. Kemajuannya harus seimbang bangun fisik, bangun jiwa, bangun karakter.

“Itulah catatan kami, mudah-muddahan bisa merefleksi tahun depan secara bersama-sama,” harap Haedar Nashir mengakhiri catatan akhir tahun 2019.
(nun)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 5.9032 seconds (0.1#10.140)