UMY Kukuhkan Ketum Muhammadiyah Haedar Nashir Guru Besar Sosiologi

Kamis, 12 Desember 2019 - 19:16 WIB
UMY Kukuhkan Ketum Muhammadiyah Haedar Nashir Guru Besar Sosiologi
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir membacakan pidato pengukuhan guru besar UMY di Sportarium UMY, Kamis (12/12/2019). Foto/SINDOnews/Priyo Setyawan
A A A
YOGYAKARTA - Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) mengukuhkan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammdiyah Haedar Nashir menjadi Guru Besar Sosiologi, Kamis (12/12/2019). Pengukuhan tersebut dilaksanakan dalam rapat terbuka senat di Sportarium UMY.

Haedar Nashir dikukuhkan sebagai guru besar berdasarkan Surat Keputusan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 35528/M/KP/2019 tentang Kenaikan Jabatan AkademikDosen tertanggal 16 Oktober 2019, dengan angka kredit sebesar 894,50.

Pengukugan diawali penyerahan SK oleh Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (L2Dikti) Wilayah V, Yogyakarta Prof Didi Achjarie kepada Rekto UMY Gunawan Budiyanto. Untuk selanjutnya, diserahkankepada Haedar Nashir. Haedar Nashir menjadi Guru Besar tetap ke-7 UMY atau ke-14 Guru Besar yang memiliki Nomor Induk Dosen Khusus UMY.

Sejumlah tokoh hadir dalam pengukuhan Guru Besar Haedar Nashir. Seperti Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhajir Effendy, Menteri Agama (Menag) Fahrur Rozi, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, mantan Ketum PP Muhammadiyah Buya Syafii Maarif, Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Kemudian Ketum PAN sekaligus wakil Ketua MPR RI Zulkifli Hasan, Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, Politikus PAN Hanafi Rais, Wagub DIY KGPAA PakuAlam X, dan Kapolda DIY Irjen Pol Ahmad Dofiri.

Haedar Nashir dalam pidato pengukuhan yang berjudul Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan Persepktif menyoroti tentang Indonesia dalam kurun waktu terakhir seakan berada dalam darurat radikal dan radikalisme. Radikalisme yang dikhususkan mengenai terorisme menjadi isu dan agendapenanggulangan utama.

"Berangkat dari permasalahan itu maka penting dikaji terutama dengan menggunakan perspektif sosiologi untuk menjelaskan masalah radikalisasi di Indonesia secara mendalam," kata Haedar dalampendahuluan pidatonya.

Menurut Haedar, narasi waspada kaum jihadis, khilafah, dan wahabi, yang disertai berbagai kebijakan deradikalisasi meluas di ruang publik. Isu tentang masjid, kampus, BUMN, majelis taklim, dan bahkan lembaga Pendidikan Usia Dini (PAUD) terpapar radikalisme demikian kuat dan terbuka di ruang publik yang menimbulkan kontroversi nasional.

"Masalah radikalisme bukan persoalan sederhana dalam aspek apapun di berbagai negara, sehingga memerlukan pemahaman yang luas dan mendalam agar tidak salah dalam cara pandang dan cara menghadapinya," katanya.

Hal itu menjadi keliru manakala memaknai radikal dan radikalisme sebagai identik dengan kekerasan lebih-lebih sama dengan terorisme. Karena pada dasarnya sejarah menunjukkan bahwa radikalisme terjadi di banyak aspek dan semua kelompok sosial.

"Indonesia setelah reformasi sesungguhnya mengalami radikalisasi dan terpapar radikalisme dalam kuasa ideologi pada sistem liberalisme dan kapitalisme baru, lebih dari sekedar radikalisme agama dalam kehidupan kebangsaan. Radikalisme ideologi, politik, ekonomi, dan budaya sama bermasalahnya dengan radikalisme atau ekstremisme beragama bagi masa depan Indonesia," katanya.

Indonesia harus mampu menyelesaikan masalah radikalisme dalam kehidupan politik, ekonomi, budaya, dan keagamaan agar berjalan ke depan sesuai landasan, jiwa, pikiran, dan cita-cita nasional. Untuk itu memberikan alternatif untuk melakukan moderasi sebagai jalan alternatif dari deradikalisasi agar sejalan dengan Pancasila sebagai ideologi tengah dan karakter bangsa Indonesia yang moderat untuk menjadi rujukan strategi dalam menghadapi radikalisme di Indonesia.

Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan itu dianggap sebagai cara objektif dalam seluruh aspek kehidupan kebangsaan seperti politik, ekonomi, budaya, dan keagamaan. Indonesia harus dibebaskan dari segala bentuk radikalisme baik dari tarikan ekstrem ke arah liberalisasi dan sekularisasi maupun ortodoksi.

"Radikal tidak dapat dilawan dengan radikal. Seperti dalam strategi deradikalisasi versus radikalisasi serta deradikalisme versus radikalisme. Jika Indonesia ingin mengatasi radikalisme dalam berbagai aspek kehidupannya, termasuk dalam menghadapi radikalisme agama," katanya.

Rektor UMY Gunawan Budiyanto mengatakan, pengukuhan dosen UMY Haedar Nashir sebagai guru besar merupakan anugrah sekaligus melengkapi kebahagiaan UMU. Sebab UMY baru menerima sembilan serifikatakreditasi A serta contoh yang sangat baik dan teladan. Dimana Prof Haedar Nashir berjuang untuk menghidupi Muhammadiyah melalui amal usaha Muhammadyah dan tidak mencari kehidupan di Muhammadiyah.

"Ini merupakan contoh kongkret. Semoga karunia pada hari ini dapat memberikan ilmu positif, terutama buat persarikatan dan bangsa ini," kata Gunawan Budiyanto.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.9925 seconds (0.1#10.140)