Pemerintah Kaji Penghapusan Ujian Nasional

Senin, 02 Desember 2019 - 06:51 WIB
Pemerintah Kaji Penghapusan Ujian Nasional
Kemendikbud masih melakukan kajian sebelum memutuskan UN dihapus. Foto/Dok/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim mewacanakan penghapusan Ujian Nasional (UN). Sejauh ini Kemendikbud masih melakukan kajian sebelum keputusan tersebut diambil. Rencana penghapusan UN sebenarnya sudah lama bergulir dan selalu memicu kontroversi, termasuk saat Sandiaga S Uno menyampaikan visi dan misinya pada debat calon presiden/wakil presiden beberapa waktu lalu.

Di antara pro-kontra yang mengemuka adalah bagaimana pemerintah bisa mengukur dan menjaga standar proses belajar-mengajar? Pro-kontra yang muncul tentu harus menjadi perhatian pemerintah karena jangan sampai kebijakan yang diambil tidak matang hingga harus dievaluasi lagi.

Kemendikbud mesti memperhitungkan betul efektivitas penghapusan UN bagi peningkatan kualitas pendidikan di Tanah Air. "Itu (penghapusan UN) yang sedang kami kaji. Ditunggu kabarnya," ujar Nadiem kepada wartawan di Hotel Ritz Carlton Mega Kuningan, Jakarta, akhir pekan lalu.

Nadiem mengaku pihaknya tengah fokus dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) pada sektor pendidikan. Hal ini sejalan dengan visi Presiden Joko Widodo dalam lima tahun ke depan. Salah satu langkah peningkatan kualitas SDM adalah dengan deregulasi dan debirokratisasi. Dengan langkah tersebut dia berharap terwujud kemerdekaan dalam belajar hingga merdeka untuk lembaga, guru serta murid-muridnya.

"Arahan Presiden untuk ciptakan link and match antara sistem pendidikan kita dan apa yang dibutuhkan dunia industri dan lain-lainnya, untuk mencapai hal itu adalah deregulasi dan debirokratisasi dari semua instansi unit pendidikan. Makanya platformnya kita sebut merdeka belajar, merdeka untuk lembaga, guru, dan murid-mahasiswa. Ini step pertama," urainya.

Yang dimaksud dengan debirokratisasi dan deregulasi adalah dengan melakukan penyederhanaan dalam sisi kurikulum maupun assessment. Hal ini dilakukan agar kurikulum bisa beralih ke kompetensi dan bukan menghafal informasi. "Terpenting peningkatan kualitas SDM pendidik, baik vokasi maupun unit pendidik dalam SD-SMA karena itu kunci dari fokus aktivitas kita dan mengarah pada pelatihan, peningkatan, dan penyederhanaan hidup seorang pendidik. Benar-benar fokus di situ," jelasnya.

Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim menegaskan, FSGI mendukung wacana evaluasi UN. Kendati demikian dia melihat penghapusan UN tidak bisa dilakukan langsung tahun depan, sebab sudah ada jadwal yang telah ditetapkan. "Sosialisasi dan Permendikbud tentang UN 2020 sudah keluar," katanya kepada KORAN SINDO kemarin.

Satriwan menyebutkan ada tiga hal yang melatarbelakangi evaluasi. Pertama, pola UN yang diskriminatif di mana semua anak diuji dengan soal yang sama. Padahal belum semua kondisi pendidikan di sekolah sama dan sekolah memiliki sarana-prasarana dan mutu yang sama. Kedua, masalah kedudukannya. Menurutnya, dengan sudah ada sistem zonasi dalam pendaftaran siswa baru, UN sejatinya tidak diperlukan.

Adapun yang ketiga yang harus dievaluasi adalah tujuan dan fungsi UN. Menurut Satriwan, selama ini UN hadir untuk mengukur kualitas pendidikan, padahal pendidikan itu sangat luas. “Jika hanya melalui UN, itu sangat parsial mengukurnya. Terlebih pengujiannya hanya melalui empat mata pelajaran saja,’’ katanya. Satriwan menjelaskan, FSGI sudah lama menolak adanya UN.

Dia pun senang ketika Anies Baswedan menjadi Mendikbud UN diubah tidak lagi sebagai alat penentu kelulusan. Namun evaluasi ini masih menemui masalah di daerah, sebab sekolah, masyarakat hingga birokrat pendidikan masih menganggap UN sebagai suatu obsesi. "Karena hasil UN harus diakui menjadi prestise bagi sekolah. Apalagi bagi birokrat pendidikan," ujar dia.

Dia lantas menuturkan, dengan adanya zonasi, nilai UN tidak lagi digunakan, melainkan ditentukan atas dasar jarak rumah ke sekolah. Lain lagi dengan penerimaan ke perguruan tinggi negeri (PTN) yang menurutnya hanya memakai nilai rapor di jalur Seleksi Nasional Masuk PTN (SNMPTN) dan tes berbasis komputer di Seleksi Bersama Masuk PTN.

Senada, pengamat pendidikan dari Universitas Paramadina Totok Amin Soefijanto melihat UN dibutuhkan untuk mengukur pemerataan akses dan peningkatan mutu pembelajaran dan pendidikan. Problemnya, UN menjadi tidak riil karena ada ketidakjujuran dalam prosesnya. “Kalau nilai UN sesuai dengan keadaan sebenarnya, maka nilai siswa di berbagai provinsi akan berbeda jauh, terutama daerah barat dan timur Indonesia,” tandasnya.

Karena itu dia menyatakan, jika Kemendikbud ingin mengevaluasi UN, sebaiknya UN dijalankan secara regional atau daerah atau ada semacam indeks penyesuaian untuk setiap daerah. Menurutnya di dalam UN ini ada komponen uji kompetensi guru (UKG), UKKS (kepala sekolah), dan UKPS (pengawas sekolah). “Selain itu jangan dilupakan juga sudah ada ukuran indeks integritas dan assessment kompetensi siswa Indonesia (AKSI) yang sudah dilakukan Balitbang Kemdikbud,” sebut Amin.

Sebagai informasi, penghapusan UN pernah ditolak di era pemerintahan Joko Widodo sebelumnya. Saat itu Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai upaya penghapusan UN dalam sistem pendidikan Indonesia akan menjadi berbahaya karena tidak ada tolok ukur terhadap evaluasi belajar siswa.

"Kalau (UN) mau dihapuskan, itu berbahaya justru untuk kualitas pendidikan. Ada UN saja kualitas pendidikan kita masih rendah, apalagi kalau tidak ada. Tidak ada parameter untuk mengukur (pendidikan Indonesia) maju atau mundur," kata JK (19/3/2019). Dia menandaskan, UN menjadi salah satu cara untuk mengevaluasi proses belajar siswa tingkat sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), dan sekolah menengah atas (SMA). Hal ini sudah diatur dalam undang-undang.

Selain itu UN juga menjadi salah satu cara untuk menjaga standar kualitas pendidikan secara nasional. “Kita harus menjaga standar bahwa standar nasional di mana pun di Indonesia ini (sama), bahwa tingkat pengetahuan lulusan SD, SMP, dan SMA itu harus mendekati nilai atau mendekati kemampuan sesuai dengan kurikulum yang ada," katanya.

Perlunya pemerintah mempertimbangkan secara masak rencana penghapusan UN disampaikan Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda dan Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian. Syaiful Huda, misalnya, tidak ingin kebijakan Nadiem didasari emosi yang dampaknya merugikan masyarakat. “Penghapusan ujian nasional harus didasari kajian yang matang, bukan atas dasar emosional,” kata Syaiful kemarin.

Politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini tak mempersoalkan wacana ini selama pemerintah mendasarinya dengan kajian yang komprehensif. Terlebih kualitas pembelajaran di Indonesia memiliki ciri khas masing-masing. “Metode pembelajaran dan kualitas sarana dan prasarana sekolah tidak sama antardaerah. Kompetensi guru juga tidak merata. Dalam konteks ini bisa dipahami muncul opsi untuk meniadakan ujian nasional,” ujarnya.

Hetifah Sjaifudian menegaskan, penghapusan UN sebagai suatu wacana sah-sah saja. Itu bagian dari upaya evaluasi. Namun, tidak bisa sebuah kebijakan dibuat tanpa kajian yang matang. Karena itu, menurut politikus Golkar ini, untuk 2020 UN masih perlu dilakukan sebelum ada penggantinya yang lebih baik.

"Guru dan murid yang nanti akan mengikuti UN 2020 pun mungkin sudah melakukan berbagai persiapan sehingga tidak fair jika langsung dihentikan begitu saja. Jikalau UN dihapus, pada 2021 mungkin pelaksanaan perdananya dan diharapkan pada saat itu sudah ada penggantinya," tuturnya kemarin.

Hetifah mengingatkan, sebagai amanat dari UU Sisdiknas, evaluasi harus selalu dilakukan sebagai bagian dari upaya pengembangan mutu pendidikan. "Kami, Komisi X, mendorong inovasi dan perubahan kebijakan ke arah perbaikan. Tentu perlu disiapkan dengan cermat saat akan diimplementasikan. Selain perlu waktu melakukan kajian, hasilnya juga nanti perlu disosialisasikan dengan baik sehingga semua stakeholder, siswa, guru, maupun orang tua memahami sistem pengukuran kinerja hasil belajar penggantinya," urainya.

Jikalau UN dihapus, proses evaluasi hasil pendidikan secara berkala tetap harus dilakukan, meski dengan menggunakan nama lain selain ujian sebagai upaya mendapatkan data indikator pendidikan. "Evaluasi pendidikan perlu untuk semacam data sebagai bahan penataan biar kita bisa membandingkan satu sekolah dan sekolah lain, satu kabupaten dengan lainnya. Paradigma ke depan harus diubah bahwa UN bukan alat kompetisi dan hasilnya bukan jadi satu media untuk memberikan insentif," katanya.

Dengan cara itu, jika di suatu sekolah atau daerah ada hasil evaluasi yang kurang baik bisa dilakukan intervensi atau pemberian dukungan untuk mengejar ketertinggalan. "Saya merasa bahwa evaluasi untuk mendapatkan indikator hasil pendidikan itu perlu secara periodik. Nama UN itu bisa jadi tidak perlu, tapi assessment nasional itu perlu. Kedua, paradigma berubah. Ujian bukan sebagai kompetisi, tapi data tentang indikator pendidikan. Ketiga, harus dilakukan dengan efisien," katanya.
(nun)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 6.0660 seconds (0.1#10.140)