Muhammadiyah Tolak Rencana Pengawasan Masjid oleh Polisi

Minggu, 01 Desember 2019 - 20:55 WIB
Muhammadiyah Tolak Rencana Pengawasan Masjid oleh Polisi
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir. FOTO : DOK SINDOnews
A A A
YOGYAKARTA - Peraturan Menteri Agama nomor 29 tahun 2019 tentang Majelis Taklim telah menimbulkan kontroversi dalam kehidupan keagamaan dan kebangsaan. Begitu pula dengan isu pengawasan masjid oleh aparat kepolisian.

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan, kegiatan keagamaan di ranah umat seperti majelis taklim justru dapat menghidupkan spirit keislaman yang tinggi dan sangat positif untuk menanamkan, memahamkan, dan mengamalkan Islam dengan baik dan benar.

Untuk itu semestinya tidak perlu dengan aturan aturan yang terlalu jauh dan bersifat generalisasi."Kalau serba diatur pemerintah secara detail atau berlebihan nanti aktivitas sosial lainnya seperti gotong royong dan aktivitas sosial di masyarakat luas maupun kegiatan keagamaan lainnya harus diatur pula seperti itu. Tidak boleh ada diskriminasi khusus pada kegiatan keagamaan di lingkungan umat Islam seperti majelis taklim ," terangnya dalam keterangan pers yang diterima SINDOnews, Minggu (1/12/2019).

Dijelaskannya menyikapi perbedaan paham dan pandangan, hal ini menurutnya sudah sejak dulu sering terjadi. Namun demikian yany paling penting dikembangkan adalah dialog agar masing-masing tidak ekstrem (ghuluw) dalam beragama dan tidak menimbulkan konflik keagamaan sesama umat beragama.

"Jika ada aktivitas yang menyimpang dapat dilakukan dengan pendekatan hukum dan ketertiban sosial yang berlaku, tidak perlu dengan aturan yang terlalu jauh dan bersifat generalisasi," tandasnya.

Dia berpendapat dalam upaya untuk mencegah radikalisme atau ekstrimisme, saat ini ketentuan perundangan yang ada sudah lebih dari cukup. "Jangan terlalu jauh mengatur aktivitas umat beragama," ulasnya.

Muhammadiyah sebagai salah satu ormas besar Islam dengan tegas menyatakan tidak setuju dan menolak segala bentuk radikalisme yang mengarah pada ekstrimisme dan membenarkan kekerasan atas nama apapun dan oleh siapapun. Namun semuanya perlu dasar pemikiran, rujukan, cakupan, dan langkah tentang radikalisme yang objektif, komprehensif, serta tidak parsial dan diskriminatif.

Untuk itu, Haedar meminta para pejabat publik untuk tidak mudah mengeluarkan pernyataan yang mengarah pada stigma atas kasus terbatas untuk digeneralisasi. Karenanya perlu dilakukan dialog dengan semua komponen bangsa demi kepentingan ke depan dalam kehidupan keagamaan dan kebangsaan yang lebih baik.

"Jangan menggeneralisasi dan menjadikan umat Islam sebagai sasaran deradikalisasi secara sepihak, diskriminasi, dan dengan aturan yang monolitik seolah umat mayoritas ini menjadi sumber radikalisme dan ekstrimisme," tandas Haedar.

Dilanjutkannya, bangsa Indonesia setelah reformasi sudah masuk era demokrasi. Untuk itu, jangan sampai dibawa lagi ke masa lalu yang serba diatur berlebihan, apalagi pengaturannya secara sepihak dan cenderung diskriminatif.

"Tentu di era kebebasan ini semua pihak jangan pula menyalahgunakan demokrasi untuk segala aktivitas yang bertentangan dengan hukum, agama, moral, dan ketertiban sosial.

Begitu pula semua komponen banhsa semestinya tidak mengembangkan paham dan ideologi apapun yang ektrem, intoleran dan membenarkan kebencian, permusuhan, kekerasan, serta betentangan dengan konstitusi dasar, ideologi, dan hukum negara yang sah di Republik Indonesia.

"Semuanya harus merujuk pada nilai dasar Pancasila serta berbasis nilai utama agama dan kebudayaan luhur bangsa yang membawa kedamaian, ketertiban, kemaslahatan, dan kemajuan hidup bersama," tegas dia.

Hal lain, jangan sampai PMA Majelis Taklim menjadi alat mengatur dan melarang majelis-majelis taklim yang tidak sepaham dengan aparat atau pejabat Kementerian Agama dalam hal ini KUA setempat, sehingga menjadi instrumen untuk kepentingan golongan atau mazhab agama yang menyatu atau dominan dalam instansi pemerintah tersebut.

"Jika hal itu terjadi dimungkinkan akan memunculkan konflik kepentingan dan gesekan paham keagamaan yang melibatkan otoritas negara atau institusi pemerintah. Semuanya perlu keseksamaan dan kearifan," ujar Haedar.

Sekali lagi dia meminta untuk menghindari kebijakan yang diskriminatif. Jangan sampai pengawasan masjid justru menimbulkan masalah baru dalam kehidupan keagamaan dan kebangsaan.

"Pengawasan masjid oleh aparat, mestinya juga jangan berlebihan. Apakah Indonesia dalam keadaan darurat radikalisme dan masjid menjadi sumber radikalisme tersebut. Kenapa tempat ibadah lain dan tempat-tempat publik lainnya tidak diawasi," pungkasnya.
(nun)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 3.5433 seconds (0.1#10.140)