Wacana Evaluasi Pilkada oleh Mendagri Harus Disikapi Bijak

Jum'at, 22 November 2019 - 08:30 WIB
Wacana Evaluasi Pilkada oleh Mendagri Harus Disikapi Bijak
Direktur The Jakarta Institute (TJI), Reza Fahlevi mengapresiasi keberanian Mendagri Tito Karnavian yang melempar wacana akan mengevaluasi pelaksanaan pilkada. Foto/SINDOphoto
A A A
JAKARTA - Keberanian Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian yang melempar wacana akan mengevaluasi pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) mendapat apresiasi Direktur The Jakarta Institute (TJI), Reza Fahlevi.

Levi mendukung Mendagri yang menyebut pilkada langsung sebagai akar masalah dari banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi karena ongkos politik untuk mencalonkan diri menjadi kepala daerah sangat mahal.

"Sudah tidak bisa kita pungkiri bahwa pilkada langsung memiliki sejumlah kekurangan. Sistem politik yang ada membuat putra daerah dengan gagasan hebat namun tidak kuat modal untuk logistik kampanye harus bisa menerima kenyataan, mengubur impiannya berkontribusi membangun daerah dengan menjadi wali kota, bupati atau gubernur," ujar Levi dalam keterangan tertulisnya yang diterima SINDOnews, Kamis (21/11/2019).

Oleh karenanya, aktivis yang pernah aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu mengimbau kepada seluruh pihak yang merasa terganggu dengan gagasan Mendagri yang tentu atas sepengetahuan Presiden Jokowi itu untuk berdialektika secara akademis, seperti yang disampaikan Mendagri yang akan melakukan riset dan membuka forum secara terbuka untuk berdialog. (Baca juga: Gagasan Tito Karnavian Soal Pilkada Asimetris Dinilai Rasional)

Levi melanjutkan, kekurangan lain dari pilkada langsung yakni para calon kepala daerah juga harus memiliki modal yang cukup besar karena diharuskan berkampanye secara fisik dari pintu ke pintu (door to door) dan rawan disusupi kepentingan pemodal.

"Selain itu, pemilih akan menjadi individualis dan materialistis. Calon kepala daerah hanya mengandalkan ketokohan dan menafikan kemampuan memimpin organisasi yang kelak dibutuhkan saat terpilih menjadi kepala daerah," paparnya.

Levi juga mengingatkan pilkada langsung berpotensi memunculkan terjadinya konflik horizontal maupun vertikal antarbasis pendukung calon. Terlebih, apabila pemahaman politik rakyat di suatu daerah belum cukup matang.

Penyelenggaran pilkada langsung, katanya, juga kerap diwarnai penyelewengan APBD, baik dari anggaran bantuan sosial maupun pos anggaran lain oleh calon petahana untuk meraih sukses saat kembali bertarung di pilkada.

"Tak jarang daerah abai dalam mempersiapkan kebutuhan anggaran pilkada, sehingga membuat daerah kebingungan saat menjelang dimulainya tahapan pelaksanaan pilkada," katanya.

Karena itu, Levi berharap, wacana Mendagri untuk mengevaluasi pilkada tidak ditanggapi secara nyinyir tanpa argumentasi yang jelas atau hanya sekadar emosi karena menganggap mengusik pilkada yang merupakan produk demokrasi serta melabelkan orang yang antipilkada berarti musuh demokrasi dan bagian dari Orde Baru. (Baca juga: Tanpa Pembenahan Partai, ICW Nilai Percuma Ubah Format Pilkada)

"Memang benar dengan pilkada langsung, partisipasi demokrasi menjadi lebih baik ketimbang dipilih DPRD yang sarat praktik oligarki dan seperti membeli kucing dalam karung. Toh evaluasi Mendagri terhadap Pilkada bukan juga meminta untuk kepala daerah kembali dipilih DPRD," tegas Levi.

Levi menekankan, Mendagri hanya menawarkan pilkada untuk dievaluasi. Jika memang pilkada dirasa lebih berfaedah sebagai sebuah sistem pemilu untuk memilih pemimpin di daerah dengan memperbaiki berbagai kekurangannya, Mendagri pun tidak keberatan.

"Namun kalau pilkada dirasa lebih banyak mudharatnya, ya kita sebagai sebuah bangsa tentu harus berbenah dengan mengubahnya menjadi sebuah sistem yang lebih baik. Kalau begitu, apapun metodenya, mari bersama kita cari formula terbaik agar kepala daerah tidak ada lagi yang terjerat korupsi karena harus balik modal," katanya.
(mif)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 1.2405 seconds (0.1#10.140)