Presiden Jokowi Perintahkan Usut Tuntas Desa Fiktif

Kamis, 07 November 2019 - 08:30 WIB
Presiden Jokowi Perintahkan Usut Tuntas Desa Fiktif
Presiden Jokowi Perintahkan Usut Tuntas Desa Fiktif. Foto/Dok.SINDOphoto
A A A
JAKARTA - Kabar adanya pembentukan desa fiktif agar dapat menerima dana desa membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) geram. Presiden pun menegaskan akan mengejar hingga tertangkap terhadap siapa pun pelaku atau oknum yang terlibat pembuatan laporan desa fiktif.

“Tapi, tetap kita kejar agar namanya desa-desa tadi yang diperkirakan, diduga itu fiktif ketemu, tertangkap,” kata Jokowi setelah acara Peresmian Pembukaan Konstruksi Indonesia 2019 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, kemarin.

Menurut dia, perlu ada penelusuran terkait informasi adanya desa siluman yang dimaksud. Indonesia sebagai negara besar dengan 514 kabupaten/kota dan 74.800 desa, katanya, perlu manajemen untuk mengelola desa-desa itu.

“Manajemen mengelola desa sebanyak itu tidak mudah. Tetapi, kalau informasi itu benar ada desa siluman, misalnya dipakai plangnya saja, tapi desanya tidak ada, bisa saja terjadi karena dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, sebuah pengelolaan yang tidak mudah," katanya.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengaku sudah mengirimkan tim untuk menyelidiki keberadaan desa-desa fiktif tersebut. Tim, menurut Tito, masih melakukan pengusutan terhadap empat desa di Sulawesi Tenggara yang diduga fiktif.

Diduga empat desa tersebut tidak berpenghuni, namun tetap menerima dana desa. “Tim sudah bergerak bersama pemerintah provinsi dan Polda Sulawesi,” kata Tito di Brimob Kelapa Dua Depok, Jawa Barat, kemarin.

Menurut mantan Kapolri tersebut, selama ini mekanisme pemeriksaan diserahkan langsung pada pihak pemerintah provinsi masing-masing wilayah di Indonesia. “Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tidak (turun) langsung untuk mengecek 70.000 desa di Indonesia. Jadi, kita sudah membentuk tim bekerja sama dengan provinsi, tim gabungan,dan Polda Sultra,” ungkapnya.

Jika memang terbukti ada aliran dana ke empat desa fiktif tersebut, jelas ada tindak pidana korupsi. Hal itu, katanya, harus segera diproses hukum. “Termasuk ketika nanti ada pemalsuan KTP, segala macam fiktif, maka pemalsuan dikenakan,” katanya.

Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengaku juga tengah menyelidiki keberadaan desa-desa fiktif tersebut. Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, KPK sudah melaksanakan tugas koordinasi dan supervisi dalam bentuk dukungan terhadap penanganan perkara oleh Polda Sulawesi Tenggara.

Perkara yang ditangani tersebut adalah dugaan tindak pidana korupsi membentuk atau mendefinitifkan desa-desa yang tidak sesuai prosedur dengan menggunakan dokumen tidak sah sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara atau daerah atas Dana Desa (DD) dan Alokasi Dana Desa (ADD) yang dikelola beberapa desa di Kabupaten Konawe TA 2016 s/d TA2018.

“Dalam perkara ini diduga ada 34 desa yang bermasalah, tiga desa di antaranya fiktif, sedangkan 31 desa lainnya ada, tetapi SK pembentukannya dibuat dengan tanggal mundur. Sementara pada saat desa tersebut dibentuk sudah ada moratorium dari Kemendagri sehingga untuk mendapatkan dana desa harus dibuat tanggal pembentukan backdate,” ungkap Febri.

Pada 24 Juni 2019, penyidik Polda Sulawesi Tenggara bersama KPK telah melakukan gelar perkara pada tahap penyelidikan di Mapolda Sulawesi Tenggara. Dalam gelar perkara itu disimpulkan saat naik tahap penyidikan akan ada pengambilan keterangan ahli hukum pidana untuk menyatakan proses pembentukan desa yang berdasarkan peraturan daerah dibuat dengan tanggal mundur (backdate) merupakan bagian dari tindak pidana dan bisa dipertanggungjawabkan atau tidak.

Kemudian pada 25 Juni 2019, dilakukan pertemuan antara pimpinan KPK dan Kapolda Sulawesi Tenggara. Dalam pertemuan tersebut diminta agar KPK menyupervisi dan memberikan bantuan berupa memfasilitasi ahli dalam perkara ini.

Pakar kesejahteraan sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Siti Napsiyah Ariefuzzaman menilai, pelaku dugaan korupsi dana desa termasuk di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara telah melanggar HAM. Karena itu, penegak hukum harus mengusut siapa saja pelakunya dan harus dihukum setimpal dengan perbuatannya.

Siti menyatakan, hakikatnya tujuan dari dana desa (DD) maupun alokasi dana desa (ADD) untuk kepentingan pemberdayaan masyarakat desa, meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa, membangun desa, hingga menunjang pembangunan yang diselenggarakanpemerintah. Karena itu, sangat memprihatinkan ketika masihterjadi penyimpangan hingga terjadi dugaan korupsi.

Menurut dia, pihak yang diduga melakukan penyimpangan dan korupsi tersebut jelas telah melanggar hak asasi manusia. “Tindakan itu kan bagian dari kriminal. Orang yang merampas hak yang bukan haknya, termasuk melakukan (dugaan) korupsi dana desa merupakan bagian dari pelanggaran HAM,”ujarnya.(R Ratna Purnama/Sabir Laluhu)
(mif)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 0.6039 seconds (0.1#10.140)