Fenomena Media Sosial, Rela Konyol demi Likes dan Followers

Sabtu, 26 Januari 2019 - 08:04 WIB
Fenomena Media Sosial, Rela Konyol demi Likes dan Followers
Sebagian orang kini rela melakukan apa saja demi mendapatkan followers, subscribers, dan likes di media sosial. FOTO/GRAFIS/KORAN SINDO
A A A
JAKARTA - Sebagian orang kini rela melakukan apa saja demi mendapatkan followers, subscribers, dan likes di media sosial . Mereka tidak peduli dampaknya, yang penting viral dan menjadi perbincangan netizen.

Itulah fenomena yang dilakukan para pemilik akun sosial ‘nyeleneh’. Mereka rela bertindak konyol hanya demi klik dari netizen. Di antara kekonyolan yang kerap muncul adalah video di akun Instagram yang menayangkan sosok laki-laki berperan sebagai perempuan dengan tingkah gila. Mereka membuat beragam video singkat lengkap dengan dandanan nyentrik, mulai dari ala emak-emak berdaster hingga anak sekolahan.

Ada juga akun yang menayangkan atraksi ekstrem dengan challenge tertentu demi mendapatkan likes. Bahkan, pernah ada beberapa akun Instagram yang memuat tindakan kontroversi seperti memberi minuman keras kepada balita. Motif mereka beragam, hanya sekadar eksistensi atau mendapat keuntungan materi.

Kendati demikian, tidak semua akun di media sosial tersebut menayangkan konten negatif. Banyak juga akun yang menginspirasi dengan jumlah follower jutaan. Akun-akun ini, dikelola secara khusus untuk memberikan edukasi bagi netizen. Keberadaan medsos memang seperti pedang bermata dua. Di satu sisi baik bagi perkembangan informasi, namun di sisi lain menimbulkan dampak negatif apabila tidak disikapi secara bijak.

Platform medsos seperti Instagram, YouTube, Facebook atau Twitter menjadi pilihan pada pemilik akun untuk menjaring followers atau subcriber. Melalui kanal-kanal tersebut, akan memudahkan setiap orang mengakses dan menyebarkan informasi.

Pegiat media sosial Enda Nasution mengungkapkan, fenomena ini sebenarnya bukan hal yang baru. Akun-akun yang memproduksi berbagai tindangan sensasional itu dilakukan karena yang bersangkutan ingin tampil menjadi pusat perhatian.

"Motifnya tidak jauh dari faktor keinginan menjadi pusat perhatian ataupun materi. Jadi, sekarang kalau dibilang banyak orang yang pengen ngetop, ya banyak. Kenapa? Karena dengan ngetop ini kan mereka akan mendapat penghasilan ataupun kepuasan," ujar dia saat dihubungi, Jumat (25/1/2019).

Dia menambahkan, akun media sosial yang diikuti banyak followers, otomatis akan berpeluang mendapatkan keuntungan materi. Pasalnya, akun tersebut bisa dengan mudah dipakau untuk mempromosikan produk atau jasa orang lain atau disebut endorse.

"Mereka jadi selebgram misalnya atau mau foto bareng pun bisa dibayar. Antara dua hal itu (followers dan materi) berbarengan," katanya.

Enda berharap, para pegiat media sosial tetap membuat konten yang berkualitas dan tidak mengambil jalan pintas hanya untuk ketenaran. Menurutnya, seorang pembuat konten atau content creator harus turut memberikan teladan yang baik kepada warga net.

Pengamat komunikasi Universitas Indonesia Devie Rachmawati mengatakan, ada beberapa alasan munculnya obsesi yang tinggi untuk menampilkan hal hal baru dan sensasional di medsos. Pertama, karena alasan biologis di mana hormon dophamine meningkat ketika manusia merasakan kebahagiaan. "Pujian melalui simbol like terbukti membangunkan hormon kenyamanan tersebut," katanya.

Kedua, karena faktor psikologis dengan tujuan untuk memanjakan ego manusia. Ada kepuasan tersendiri apabila ada orang yang membicarakan dirinya. "Ketika komentar atau unggahan tentang dirinya direspons dengan jempol, membuat ego seseorang dimanjakan," ungkapnya.

Psikolog dan praktisi theraplay Astrid WEN memandang, maraknya polah konyol, vulgar, dan ekstrem netizen tidak lepas dari salah satu karakter medsos yang bersifat terbuka. Sikap membuka diri dalam berbagai hal seperti dianggap lebih dihargai ketimbang menutup diri. Komentar, pengakuan, bertambahnya follower atau subscriber, fitur likes bahkan kini ada fitur love mendorong seseorang menjadi lebih mudah menunjukkan siapa dirinya baik melalui perbuatan maupun tulisan.

Di kalangan anak baru gede (ABG) dan remaja, tingkah yang unik dan berbeda tadi memang lebih cepat menyebar atau viral karena cara mereka berjejaring di medsos relatif sangat cepat dan luas terutama melalui smartphone.

Dia mengakui, polah konyol di media sosial memang cenderung memancing atensi lebih tinggi ketimbang konten-konten positif. Hal ini karena ada semacam tantangan dan unsur petualangan kendati bisa mendatangkan cyber bullying dari sesama warganet.

"Pada akhirnya, menjadi tanggung jawab orang tua dan kalangan pendidik juga untuk mencegah dan menyelamatkan anak-anak kita dari paparan pengaruh negatif medsos. Orang tua jangan pasif, kasih contoh juga tindakan-tindakan baik," ujar Astrid.

Dia mengatakan, salah satu kiat untuk membendung pengaruh negatif medsos terhadap anak-anak antara lain sering mengajak mereka melakukan banyak kegiatan seru dan menyenangkan secara bersama-sama. Hal itu dilakukan agar tidak banyak lagi waktu terbuang percuma untuk menggunakan gadget.

Selain itu, orang tua juga perlu mengajak anaknya berdiskusi santai mengenai konten atau informasi positif yang juga tak kalah banyak tersebar di medsos. Ini merupakan jurus meliterasi dan edukasi remaja dari dampak negatif medsos.

"Pendekatannya harus santai. Jangan belum apa-apa sudah ditakut-takuti dengan ucapan sering main hape nanti kecanduan lho atau mata jadi sakit lho. Cara penyampaiannya harus menyenangkan," ucap ketua Theraplay Indonesia ini.

Jangan Melanggar Norma
Anggota Komisi IX DPR Nova Riyanti Yusuf berharap, para pegiat media sosial tetap memegang teguh norma di masyarakat serta tidak melanggar hukum. Dia mengatakan, membuat konten di media sosial perlu berhati-hati dan bijaksana terutama ketika memposting endorse yang memuat kampanye gaya hidup.

"Norma-norma di masyarakat harus tetap dipegang jangan sampai fenomena ini justru melenceng dengan menghalalkan segala cara untuk tenar," ujar dia.

Nova Riyanti menambahkan, bagi mereka yang punya followers banyak di media sosialnya harus berhati-hati dalam memposting konten. Apalagi hal ini akan cenderung diikuti oleh followers mereka.

"Ini juga harus menjadi pelajaran dan perlu hati-hati agar kedepan tidak bermasalah baik melanggar nilai dan norma di masyarakat serta hukum yang berlaku. Tidak mau kan jika bermasalah kemudian berurusan dengan hukum," katanya.

Plt Direktur Eksekutif ICT Watch Widuri mengungkapkan, masih banyak konten negatif di berbagai platform media sosial di Indonesia yang harus harus disikapi dengan bijaksana oleh semua pihak. Konten-konten tersebut tidak bisa dihindari sebab platform media sosial sangat bergantung dari laporan penggunanya.

"Konten negatif berupa ujaran, video maupun gambar tidak bisa dihindari. Bukan hanya oleh masyarakat milenial, bahkan orang tua sekalipun. Karenanya dibutuhkan kesadaran melalui kampanye mengenai internet sehat," ujar dia kepada KORAN SINDO di Jakarta, Jumat (25/1/2019).

Menurut dia, platform media sosial kini memiliki perangkat pelaporan (report). Fitur tersebut bisa dimanfaatkan jika ada konten negatif di media sosial.

Sementara itu, Pelaksana Tugas Biro Hubungan Masyarakat Komenterian Komunikasi dan Informatika Ferdinandus Setu mengatakan, pengguna media sosial diimbau untuk memperhatikan konten yang ada di berbagai flatform. Apabila ditemukan konten negatif, sebaiknya disikapi secara bijak.

"Orang tua juga perlu mengajarkan kepada remaja strategi penggunaan medsos yang bijak serta mengatur penggunaan medsos oleh anak," ujarnya.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
artikel/ rendering in 2.9279 seconds (0.1#10.140)